TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA

Kamis, 20 November 2008

ESAI

“MENGARANG” ITU PERLU

BUKU ADALAH JENDELA DUNIA , MENGEMBANGKAN BUDAYA MEMBACA SEJAK DINI PADA DIRI SESEORANG NISCAYA AKAN MEMBANTU YANG BERSANGKUTAN MEMAKSIMALKAN KEMAMPUAN NALARNYA SEKALIGUS YANG KELAK MENJADI PEMBEDA MAKHLUK MANUSIA DENGAN MAKHLUK LAIN DI ALAM INI BERKAT KARUNIA DARI SANG PENCIPTA, YAKNI ‘AKAL’ UNTUK BERPIKIR.
MENGGUNAKAN AKAL SECARA MAKSIMAL ADALAH DENGAN MENGEMBANGKAN DAYA KRETIVITAS KITA, DAYA CIPTA KITA! DAN ITU BISA DI MULAI DENGAN KETRAMPILAN MEMBACA TEKS DENGAN PENUH KONSENTRASI.

TERDAPAT PERBEDAAN MENCOLOK ANTARA POSISI PEMBACA DAN PENONTON; MEMBACA SANGAT TERGANTUNG KEMAMPUAN SESEORANG MENCERNA TEKS, KIAN TERLATIH BERKONSENTRASI, KIAN CEPAT SESEORANG MENYELESAIKAN NASKAH YANG DIBACANYA, SEBALIKNYA MENJADI PENONTON, PASTILAH DENGAN SECARA BERSAMA-SAMA/MASSAL KETIKA MENYELESAIKAN TONTONANNYA.

CIPTAAN YANG PALING MINIM MENGGUNAKAN SUMBER DANA ADALAH MENGARANG, KARENA BAHAN BAKU UTAMANYA CUMA KATA!

DAN MENGARANG TERMASUK KARYA CIPTA YANG PALING MUDAH KITA KERJAKAN SEPANJANG KITA CUKUP MEMILIKI DAN MENGUASAI:
1. BAHASA
2. IMAJI
3. KONSENTRASI
4. ILHAM
5. KETEKUNAN

SIALNYA HIDUP DI ERA SERBA TOMBOL INI MEMBUAT KITA MENJADI MANJA DAN LEBIH SENANG SEBAGAI MASYARAKAT PENONTON YANG BERSIKAP PASIF, GEMPURAN TOMBOL-TOMBOL KECANGGIHAN TEHNOLOGI, LEBIH KUASA MENGHABISKAN 24 JAM WAKTU KITA UNTUK TERPAKU DI MUKA TIVI, NEGECENG DI MALL, NONTON DI STADION, DAN HANYA BEBERAPA SAJA DIANTARA KITA YANG MEMILIH MENGGUNAKAN WAKTUNYA UNTUK MENJADI ‘ORANG YANG SEDIKIT’ DENGAN MENGGUNAKAN OTAKNYA UNTUK MENGARANG:”KELUAR DARI KUNGKUNGAN BUDAYA KONSUMTIF, MENYENDIRI, MENARIK DIRINYA UNTUK MENJADIKAN DIRINYA SEBAGAI SANG KREATOR /SI PENCIPTA”

MENULIS SURAT SESUNGGUHNYA PERNAH MENJADI MENU UTAMA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR MULAI DARI TINGKAT SD SAMPAI SMTA, NAMUN KINI TERDESAK OLEH KIAN CANGGIHNYA ALAT KOMUNIKASI, MULAI DARI TELPON, HP SD INTERNET, HINGGA PERAN SENTRAL KANTOR POS SEBAGAI MEDIATOR BERKOMUNIKASI LEWAT SURAT KINI NYARIS MINIM SEHINGGA MEREKA LEBIH BERPERAN MELAYANI MASYARAKAT MENCAIRKAN BLT!



NAH, MENULIS SURAT / BERKORESPONDENSI ADALAH PINTU GERBANG UTAMA DAN PERTAMA BAGI SESEORANG UNTUK MEMASUKI DUNIA KARANG-MENGARANG

MENGARANG BERARTI MENGUNGKAPKAN BUAH PIKIRAN KITA SECARA TERTULIS SESUNGGUHNYA HAL YANG SANGAT DIPERLUKAN OLEH SESEORANG JIKA INGIN MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN NALARNYA SEKALIGUS MEMBEBASKAN DIRINYA DARI JERAT BUDAYA HEDONISME YANG SERBA INSTAN / GAMPANGAN

UNTUK MENJADI SEORANG PENGARANG YANG SEKALIGUS SANG KREATOR DAN YANG KARYA-KARYANYA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG BUKANLAH SESUATU HAL YANG MUSTAHIL BAGI DIRI SETIAP ORANG SEPANJANG MAU BERTEKUN RIA DIHADAPAN KOMPUTER BERJAM-JAM UNTUK MENGUNGKAPKAN ISI HATINYA BAIK DALAM BENTUK PUISI, CERPEN, ARTIKEL DLLNYA

MENGARANG ITU PERLU KITA TRADISIKAN DALAM DIRI KITA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA NALAR DAN DAYA KRITIS KITA SEKALIGUS MENGUNGKAPKAN APA YANG KITA PIKIRKAN SECARA BENAR DAN DIMENGERTI OLEH ORANG LAIN

KARENA KINI SUDAH MENJADI RAHASIA UMUM BAHWA BANYAK DIANTARA KAUM MUDA KITA YANG GAMANG JIKA DI SURUH MENGARANG!
BAHKAN YANG LEBIH PARAH LAGI KEBIASAAN BERSMS-AN DENGAN GAYA BAHASA YANG TIDAK MNENGGUNAKAN KAIDAH BERBAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR AKAN SANGAT MEMPENGARHI PERKEMBANGAN INTLEKTUAL KITA

OLEH SEBAB ITU MARI KITA JADIKAN KEGIATAN MENGARANG ITU MENJADI AKTIVITAS RUTIN KESEHARIAN, DI MULAI DARI HAL SEDERHANA, MISALNYA MEMBUAT RESUME DARI BACAAN YANG KITA BACA, BUKU HARIAN, CATATAN KAKI, DLLNYA, KELAK SECARA TIDAK DISADARI TELAH MELATIH KEMAMPUAN INTELEKTUAL SESEORANG DAN SELURUH KEGIATAN DI DUNIA INI DI AWALI DENGAN TEKS/NASKAH, DAN MENGAPA KITA TIDAK SEGERA MEMPOSISIKAN DIRI SEBAGAI SANG KREATOR NASKAH/TEKS ITU SENDIRI?

YAKINLAH ANDA BAHWA MENGARANG ITU PERLU DAN MERUPAKAN JALAN TOL UNTUK MENGGENGGAM HARI DEPAN CEMERLANG!
SELAMAT MENGARANG




MARI JADI ORANG “SEDIKIT



“Orang kebanyakan” alias “massa” alias “publik” adalah sekelompok orang yang hidup di Era serba tombol sekarang ini telah secara sengaja diposisikan oleh para kapitalis sebagai pangsa pasar, masyarakat konsumtif, masyarakat hedonis, masyarakat instant, masyarakat yang siap menjadi pemuja berhala-berhala kontemporer: mulai dari tivi, computer, hp, mode pakaian, sampai tontonan band di stadion.dan ngeceng di Mall.

Masyarakat yang siap sedia 24 jam full time untuk dituntun menikmati kecanggihan tehnologi. Bagi mereka yang orang tuanya berpenghasilan cukup, memang bukan persoalan besar. Toh, niat orang tua pasti baik, atas nama kasih sayang, apa salahnya jika sejak kecil anak-anak mereka di kenalkan dengan mall, dengan makanan instant, dengan Playstasion, dan sebagainya. Berangkat remaja disiapkan sepeda motor, hp dan gaya hidup kota yang serba konsumtif.

Persoalan muncul, ketika si anak oleh tuntutan usia harus hidup “mandiri”, keluar dari tanggung jawab orang tua, masuk ke lingkungan social, menjadi “orang dewasa baru”

Jika sejak kecil terbiasa “terima ada”, terbiasa bertombol ria, mapan dengan budaya yang serba instant, dan amat minim untuk menggunakan akal pikirannya untuk survive, pastilah akan muncul kegamangan ketika yang bersangkutan tampil sebagai sosok individu di tengah masyarakat.


Kondisi ini kian disempurnakan oleh kebijakan sistim pendidikan nasional yang lebih memprioritaskan kewajiban Negara kepada kwantitas ketimbang kwalitas sehingga lumrah bagi sekolah untuk “membantu” anak didiknya lulus, karena akan menyangkut reputasi sekolah. Pola rekrutmen ketenaga kerjaan yang lebih berorientasi KKN, menjual ijazah dengan menomor satukan duit, bukan otak. Sehingga sampai hari ini, sungguhpun sudah ratusan ribu sarjana tehnik digelontorkan universitas di Indonesia sebagai Insinyur, namun jangankan untuk mobil, sepeda motor pun masih assembling, belum bisa bikin sendiri, Justru yang ada sekarang adalah : Era merajanya Kredit motor!
---0000---

Menulis surat sesungguhnya pernah menjadi menu utama kegiatan belajar mengajar anak sekolahan mulai SD sampai SMTA tempoe doeloe.. Namun seiring bergulirnya waktu, bergulirnya booming alat komunikasi canggih, mulai dari telpon, HP sampai internet, maka peran kantor pos sebagai mediator dan fasilitator surat pun meredup bahkan kini hanya menjadi sang minimalis sebagai tempat masyarakat miskin mengambil BLT.
Harus diakui bahwa hidup di era serba tombol ini membuat kita menjadi manja dan lebih suka mengambil posisi sebagai masyarakat penonton yang bersikap pasif. Gempuran kecanggihan tombol-tombol itu lebih kuasa menghabiskan 24 jam waktu kita untuk terpaku di pesawat tivi, ngeceng di mall, berhura-hura nonton band di stadion yang disponsori oleh perusahaan rokok, nyuruh kita jadi perokok!

Memang tidak ada yang mesti di tuding atas kondisi ini sepanjang anda memposisikan sebagai orang kebanyakan / massa. Toh urusan hidup seseorang sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing!

Beruntung bahwa tidak semua anak muda Indonesia larut oleh cekokan budaya konsumtif yang memabukkan itu, beberpa diantaranya mundur teratur, memilih menggunakan waktu yang ada untuk menjadi orang yang “sedikit”. Sungguhpun untuk pilihan itu, ia harus rela bersendiri di Perpustakaan, bercengkrama dengan Koran dan majalah dan buku-buku yang secara tidak disadarinya akan malatih dirinya untuk mengembangkan daya nalar dan kreativitasnya , keluar dari kungkungan budaya konsumtif, manarik diri dari keramaian guna mempersiapkan dirinya sebagai sang calon kreator!

Kata orang bijak, buku itu jendela dunia. Mengembangkan budaya membaca sejak dini niscaya akan membantu seseorang mengembangkan kemampuan nalar dan intelektualnya, sekaligus sebagai ciri/pembeda dengan mahluk lain di alam ini karena telah menggunakan kepalanya untuk berjalan dan hal itu bisa segera di mulai untuk mulai membiasakan baca teks dengan penuh konsentrasi!
Terdapat perbedaan mencolok antara posisi pembaca dengan penonton. Membaca bersifat privacy, aktif dan berkonsentrasi penuh mencerna teks hingga memahami isi yang terkandung dalam bacaan yang dibacanya. Sementara menonton bersifat umum, pasif dan hasil yang diperoleh terkadang cuma kekaguman belaka!



Semua berawal dari teks

Ketika beragam teks telah bermukim di kepala para penyendiri, ada tuntutan dari dalam dirinya untuk menumpahkan kembali hasil olah pikirnya itu kedalam bentuk teks asli karya dirinya sendiri yang isinya jelas mencerminkan sikap dirinya terhadap suatu masalah yang menurutnya perlu disikapi secara teks..

Mengungkapkan gagasan/ide/ilham/pemikiran yang ada dalam diri seseorang secara tertulis sehingga dimengerti oleh yang membacanya, sesungguhnya tidak serta merta! Butuh suatu proses latihan yang terus menerus, bermodalkan penguasaan bahasa, keliaran imajinasi, kemampuan konsentrasi dan ketekunan! Tanpa keempat hal tersebut di atas, rasanya seseorang akan sulit menjadi mahluk yang sedikit!

Mahluk kategori sedikit itu adalah kelompok mahluk pencipta/creator!
Dan membiasakan diri menuliskan apa yang ada dalam kepala/perasaan paling tidak bisa menjadi modal awal untuk menjadi orang yang sedikit itu. Pilihan untuk merintis karir kepengarangan, sesunguhnya pilihan taktis dan jitu sepanjang ditekuni dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Mengarang adalah keterampilan mengolah, merangkum, menyusun kata menjadi kalimat-kalimat yang membahas/menceritakan suatu topic yang sesungguhnya dirasakan oleh banyak orang namun kita yang mampu melukiskannya dalam teks!

Ke depan, keterampilan mengarang sesungguihnya tidak membutuhkan modal jutaan, cukup dengan kemampuan menguasai kata-kata, menyusunnya dengan benar sesuai dengan topic yang ingin kita bahas. Dan keterampilan ini sangat penting untuk menjawab tantangan zaman tentang kesulitan memperoleh pekerjaan, karena kita bisa mempekerjakan diri kita sendiri sebagai seorang pengarang!

Pembohong yang dipercaya

Sesungguhnya peradaban ini bisa dinikmati berkat peranan para pengarang! Karya-karya besar dunia yang sampai kini tetap menjadi konsumsi publik, seperti Romeo dan Yuliet dan ribuan karya lainnya takkan lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Harimau mati meningggalkan belang, manusia mati meninggalkan karya! Bahkan untuk bisa mendapatkan cerita Harry Potter terbaru, para pembacanya rela untuk bermalam di depan toko buku yang menjual karyanya itu!

Kisah kehebatan Majapahit dapat kita ketahui berkat Mpu Prapanca dengan Negara Keretagamanya.

Kisah Kedurjanaan Malin Kundang bisa kita peroleh berkat kehebatan pengarang yang terilhami oleh bentuk batu di pinggir laut!

Yaa….Harus diakui, Pengarang adalah pembohong yang dipercaya
Pengarang adalah Tokoh yang membuat teksnya menjadi film best seller dan seterusnya!

Retorika no, karya ok

“Massa penggembira” sebagai refleksi ketidaktrampilan menjadi orang sedikit terkadang dimanfaatkan oleh para sponsor rokok untuk menjual poduknya, politisi untuk beretorika menjual dirinya, hingga pengumpulan massa menjadi topic surat kabar untuk menaikkan oplahnya.

Kondisi ini bisa kita patahkan dengan kenekadan diri untuk bersikap kritis namun tidak dengan retorika sebaliknya dengan tulisan.

Republik ini hanya menjadi pasar konsumtif produsen dunia karena para pemimpinnya lebih senang beretorika ketimbang menyusun teks kebijakan cerdas yang membumi dan dapat dimplementasikan oleh semua anak bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari! Sialnya ini Cuma mimpi, karena sampai hari ini, belum ada satu karya besar anak bangsa ini yang mampu menerjemahkan Undang Undang Dasar 1945 dengan pas atas nama kesejahteraan Rakyat!

Maka ketimbang kita berdebat, lebih baik merenung, lebih pas menuangkan renungan kita itu dalam bentuk tulisan, entah itu fiksi maupun non fiksi.

Pembeda untuk kedua karya tulis itu Cuma satu: Non Fiksi berdasarkan data, fiksi berdasar imajinasi!

Jangan buru sebutan sastrawan
Para penulis karya-karya fiksi dalam berproses melahirkan karya-karyanya dan berhasil menjual karyanya itu ke media massa/penerbit, memiliki pola sikap sebagai berikut:
- Penyendiri/individualis
- Rendah hati, enggan disebut sastrawan
- Eksentrisitas kesenimannya khas
- Topik kontekstual
- Gaya ungkap cerita khas/unik
- Thema: keprihatinan terhadap Nasib orang kecil
- Moral cerita tidak menyinggung SARA dan etika

Sikap hidup untuk mengisi hari-hari yang terus bergulir dengan melakukan olah kata secara konsisten, konsen dan gembira sesungguhnya akan berdampak positif bagi seseorang di masa depannya. Karena Olah kata bersendikan imajinasi hasil perenungannya sebagai mahluk social tentang suatu topic yang menurut hematnya patut diketahui oleh masyarakat pembaca, akan memberi kepuasan batin bagi sang pencipta itu sendiri ketika karyanya itu dipublikasikan oleh media massa.

Namun jika yang diburu Cuma gelar/sebutan sastrawan! Pasti yang bersangkutan akan terjebak dan gigit jari pada akhirnya.

Sebutan Sastrawan diberikan oleh publik karena intensitasnya mempublkikasikan karya-karyanya, bukan tujuan!

Jangan jadi epigon
Semua keberhasilan yang diraih seseorang jelas tidak jatuh dari langit. Bisa dipastikan lewat suatu proses panjang yang terkadang menahun untuk bisa disebut menjadi.
Namun keunikan dunia tulis menulis adalah upaya perjuangan diri yang bersendiri menjalani proses itu.
Coba dan coba lagi, tak ada kata putus asa untuk mengirimkan karyanya itu ke media massa, adalah sikap pokok seorang calon penulis.
Pengarang sebagai cikal bakal sang pencipta peradaban. sesunguhnya tak ada sekolah khusus untuk itu. Yang ada adalah kemauan, kesungguhan untuk mengamati, mencatat, merenung, mengolah imaji, menuturkannya dalam teks, mengirimkannya ke redaksi.
Namun satu hal yang pasti, Sarat utama karya kita di muat oleh suatu media, jika karya kita itu dipandang redaktur UNIK/KHAS, LAIN DARI YANG LAIN, baik dari segi thema, gaya bahasa, dan endingnya! Dan inilah yang sering kali menjadi batu sandungan dari pemula: “KEUNIKAN”
Untuk memperoleh ciri tersebut, satu hal yang mesti dihindari adalah bahwa sejak dini anda harus bersikap untuk tidak ingin menjadi Epigon, jangan mau jiwa anda terkagum-kagum oleh seorang pengarang.
Jangan memulai menulis dari hasil membaca karya pengarang lain.
Namun bersiaplah menulis berdasarkan hasil pengamatan anda terhadap kehidupan lain di luar diri anda. Jadikan pengalaman orang lain sebagai pengalaman batin anda. Hal ini bisa anda peroleh berkat sikap anda dalam kehidupan social sebagai pendengar yang baik! Bukan sebaliknya sebagai Provokator!

Hindari nyontek: plagiator
Menyusun suatu cerita, dari posisi tiada menjadi ada adalah hal yang melatar belakangi kehebatan seorang penulis. Ide cerita bisa dan boleh kita ambil dari guntingan berita Koran, curhat tukang parkir dan sebagainya, namun ketika proses pencarian dan pengolahan data itu bermain di kepala kita untuk sampai pada satu titik: dituangkan dalam tulisan, maka jangan pernah berniat untuk nyontek / memplagiat dari karya penulis lain. Disamping sangat hina, resikonya jika ketahuan, anda ke depannya akan hancur karena dijuluki sebagai “sang plagiator”.

Anda mesti yakin, bahwa rambut sama hitam, yang beda Cuma satu: anda berhasil karena anda duluan makan garam dari saya! Hal inilah yang mesti anda camkan dalam diri masing-masing.

Satu hal yang mesti dipegang teguh adalah semboyan:“hakim yang paling adil adalah waktu itu sendiri. Jika anda emas sepuhan atau emas beneran, waktu yang akan menjawabnya.”

Kesimpulan: Mari Kita Berusaha Menjadi Orang Yang Sedikit, Dan Dunia Tulis Menulis Adalah Dunia Yang Pas Untuk Itu!

Selamat Berkarya (Sukamaju, 19 Juli 2008 )



KERJA PENULIS BUTUH TOTALITAS

I
Terima kasih Ya Allah, hari ini hambamu mohon izin untuk bicarakan diri sendiri atas limpahan anugrah kalam-Mu pada diri hamba dan mohon ampun jika nyanyi diri ini jadi air laut asin sendiri, Amien Ya Rob

Terima kasih Pemerintah Republik Indonesia, terutama Pimpinan dan segenap Staf Kantor Bahasa Propinsi Lampung, bil khusus Mas Danar dan Dimas Sunan yang telah memberi kesempatan kepada saya (untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya) tampil sebagai pembicara di blantika sastra Ruwa Jurai. Semoga hal ini akan bermanfaat bagi kalian semua.

II
Menulis Pertama kali pada 1974 ketika sebagai Ketua OSIS yang juga harus mengendalikan .Majalah Dinding SMA Negeri Telukbetung dengan nama samaran Dorenovlie. Tulisan Pertama kali dimuat pada Harian Pelita 20 Oktober 1978 yang berjudul “Nomor 289 untuk 5 menit” & Tulisan terakhir dimuat Lampung Post Minggu Edisi 9 Maret 2003 : Cerpen Berjudul: “ASTIGA”

Selama kurun waktu + 24 tahun 7 bulan 11 hari, saya telah menulis Cerita pendek, cerita anak, puisi, artikel budaya, resensi puisi, essei, bahkan berita (Selaku Wartawan SKM Swadesi-Jakarta 1982-1985) di Media Jakarta: Pelita, Sinar Harapan, Suara Karya, Merdeka, Berita Buana, Simponi, Swadesi, Detektif & Romantika, Senang, Humor, Nova,Harmonis, Bobo, Kawanku, Variasi. Dan Media Daerah: Lampung Post, Radar Lampung, Lampung Ekspres, Sumatra Post, Trans Sumatera, Waspada (Medan) Dengan menggunakan empat nama: A.M.Zulqornain Ch, Asroeddin MZ, dan Amzuch serta Asaroeddin Malik Zulqornain

III
Benar, bahwa seratusan cerpen, puluhan puisi, artikel budaya hingga berita pernah saya publikasikan, bahkan puisi “Selamat Pagi Pancasila” menjadi juara lomba cipta dan baca puisi yang diselenggarakanoleh BP7 Propinsi Lampung namun saya tetap yakin bahwa saya bukan siapa-siapa, tidak ada apa-apanya dan tak pernah jadi apapun.Saya hanya ingin jadi diri sendiri yang hidup hanya untuk menunda kekalahan, namun sebelum kekalahan itu datang, saya mesti menikmatinya dengan penuh rasa sukur. Bagi saya lebih baik miskin harta daripada miskin jiwa, itulah sebabnya saya lebih memilih tidak kenal dengan redaktur media manapun selama saya berkarir, sebab menurut hemat saya predikat “penulis” bukan sesuatu yang istimewa, karena yang dibutuhkan bukan orangnya tapi karyanya dan penghargaan yang diterimanya hendaknya berlangsung secara wajar, tak perlu cari muka atawa lobi sana sini apalagi sampai cetak buku sendiri. Pun saya sampai bisa menulis berkat kemauan keras dan kesungguhan hati, tiada teman, guru apalagi ilmu, Cuma modal nekad dan sampai hari ini saya tetap abadi menggenggam sepi, mungkin sampai mati! Benar saya punya teman, kenalan atau apapun namanya yang mengundang dan melibatkan saya dalam kegiatan seni di Bandarlampung, sialnya saya Cuma diposisikan sebagai pelengkap penderita, bicara yang bagus-bagus, beri dukungan dan Cuma sebatas itu, tak seorang pun yang coba mengenal karya-karya saya, semua sekedar basa basi, maka pada ketika seorang Sunan bertandang ke rumah dan mengutarakan niatnya untuk mendokumentasikan tulisan-tulisan saya, saya Cuma bisa berkata: Terima kasih Ya Allah!

Produktifitas saya berkembang pada Dekade delapan puluhan dan bersama Dimas Sunan, saya membongkar bundel kliping Koran yang tersimpan dalam almari kayu yang mulai lapuk, tempat seluruh karya saya yang memang belum pernah dibukukan, masih terdokumentasi dalam ordner yang mulai dimakan rayap.

Saya memang pernah100% hidup dari menulis. Sayang hal ini tak dapat saya lanjutkan, bukan karena minimnya penghargaan yang diterima, namun semata-mata karena keterbatasan daya tahan tubuh dan jiwa saya, karena profesi menyulap ketiadaan menjadi ada ini butuh totalitas, kerja keras dan kesungguhan hati, kita bahkan harus terjun langsung menjadi kuli karung jika ingin memperoleh pengalaman batin sebagai seorang kuli!

Sekarang saya hanya menulis ihwal kelampungan, mulai dari Puisi yang langsung saya bacakan pada acara antara lain: Lampung Art Festival (DKL), Panggung Penyair, dan Pertemuan 2 Arus (Jung Foundation), artikel yang di muat di media local, antara lain berjudul : Festival Kesenian Lampung untuk Siapa?/ Melampungkan kelampungan ulun lampung / Kesenian Lampung Sudah waktunya bangkit/. Disertai harapan agar slogan Lampung sebagai Indonesia mini bukan jalan tol untuk menghancurkan warisan budaya leluhur kami.
Kerja keras saya sepertinya nyambung, Terbukti kini issu kelampungan sudah ngetrend dikalangan pekerja dan institusi seni mulai dari DKL sampai Pemerintah Daerah dan bahkan tanpa sungkan untuk menjadikannya sebagai program kerja, sebagai proyek untuk ngisi kocek! Maka saya pun bersiap untuk goodbye pada kelampungan,

IV
Di penghujung usia (seandainya saya kembali menggeluti dunia penulisan) insyaallah saya akan membesarkan jati diri keindonesiaan dalam karya-karya saya. Sebab tampang asli sastra Indonesia mutakhir masih berkutat dengan hanya sebatas penggunaan bahasa Indonesia, roh primordialisme dan hedonisme amat sangat menguasasi jagat sastra Indonesia, akan jadi apa Indonesia jika makna sumpah pemuda Cuma sebatas berbahasa satu bahasa Indonesia, namun implementasinya dalam khidupan keseharian kita tetap berpegang teguh pada dogma: :saya orang jawa, saya orang bugis, orang maluku dan sebagainya. Padahal sudah waktunya jika kita dengan lantang berteriak: SAYA ANAK INDONESIA! Bahasa Indonesia seyogyanya tak hanya berperan sebagai alat komunikasi verbal antar sesama anak bangsa, justru idealnya sebagai refleksi jati diri bangsanya, sehingga perkembangan primordialisme yang bermakna sempit yang bermuara pada kehancuran NKRI dapat sejak dini kita eliminasi dari dalam diri setiap anak bangsa!

V
Blantika sastra Bandarlampung khususnya dan Lampung pada umumnya di dekade awal abad 21 ini sungguh sangat menggembirakan. Hampir setiap waktu bermunculan penulis baru yang rata rata berbasis perguruan tinggi dan menghasilkan karya sastra beragam, dipublikasikan diberbagai media baik lokal maupun nasional dan dilanjutkan dengan munculnya berbagai komunitas sastra, (tempat mangkal para pekerja sastra), satu hal yang belum pernah saya alami dimasa awal kepenulisan saya.

Geliat dan gerak kiprah para sastrawan muda ini paling tidak akan menjadi ajang promosi bagi Bandarlampung di khasanah blantika sastra nasional.

Satu hal yang sepatutnya menjadi pegangan bagi kita selaku sastrawan, hendaknya ditumbuh kembangkan kehangatan spriritual antar sesama dan bukan sebaliknya mempertajam konflik, intrik, sirik, apalagi munafik! karena dunia seni sesungguhnya adalah dunia yang memungkinkan seseorang menjalani lakunya dengan penuh rasa sukur, rasa sayang dan mengutamakan harmoni antar sesama. Seniman sejati adalah orang yang mampu memainkan melodi dan tarian kehidupan penuh kebebasan dengan dibatasi kebebasan yang lainnya! Mari kita saling membebaskan diri kita masing-masing dari gempuran hedonisme yang Cuma membuat orang Indonesia sebagai masyarakat konsumtif dan sekedar pasar dari para produsen budaya mancanegara! (Bandarlampung, 10 Juli 2005)



SELAMAT ULANG TAHUN BANDARLAMPUNGKU SAYANG


Jika Lampung dijuluki warga nusantara sebagai gerbang Sumatera, maka persis di jantungnya terhampar kawasan bertanjung perbukitan hijau, berpantai pada ceruk teluk laut penuh plankton yang bila malam tiba seolah bintang gemintang turun dari langit malam, menaburi kawasan teluk bagai kunang-kunang...itulah geliat para pencalang laut sejati yang tengah asik memperdaya ikan-ikan dengan menebar jala, mata kail, lampu petromak dan doa-doa. Sebagai pencalang laut sejati, di laut mereka berjaya tapi di darat mereka senantiasa diperdaya oleh para tengkulak. Sungguhpun demikian, mereka tetap setia menarikan tarian hidupnya sebagai kunang-kunang Teluk Lampung!
Lalu di jelang pagi manis bangkit dari baringnya nun dari balik perbukitan hijau yang menelikung kota: Sukadana Ham, Umbul Kunci, Jatimulyo, Kemiling, Sakal dan Sukarame akan muncul beratus pasang kaki telanjang menerabas jalan setapak yang masih berembun dengan menating pelita bambu sambil punggung menggendong atawa bahu memikul hasil kebun dan ladang masing-masing. Kelak di pasar-pasar tradisional para petani dan pencalang itu akan bersinergi menyuapi warga se kota (yang masih lelap di buai mimpi). Sunguh suatu kota yang menjanjikan berjuta pesona!
Tempo hari kawasan ini berjuluk ‘Si Kota Kembar: Tante’ (Tanjungkarang-Telukbetung), seiring berjalannya waktu dan masuknya kawasan Panjang, Natar, Kemiling, Way Kandis dan Natar, berganti julukan sebagai si Tapis Berseri: Bandarlampung.
Sebagai Bandar, Kotaku ini sepatutnya memiliki nilai lebih dibanding wilayah lain di Lampung ini, ditambah lagi dengan idealnya topografi, melimpah ruahnya potensi kelautan dan perkebunan disertai keramahan warganya yang suka bekerja keras, namun sampai kini belum lagi dikembang dan berkembang secara maksimal. Hal ini dibuktikan dengan kehidupan kaum petani dan nelayan yang masih marjinal. Bandarlampung di jantung gerbang Sumatera masih mencari jati dirinya!

Jika Yogya dikenal sebagai Kota Pelajar, Palembang:Kota mpek-mpek, Bandung : Paris Van Java.Surabaya : Kota Perjuangan, Bali : Kota Turis, Bandarlampung? Kota Tapis berseri. Lantas apa itu Tapis Berseri? Jangankan orang luar daerah, warga kota pun akan tersipu malu, sebab kotaku belum lagi bersih, sehat, ramah dan indah. Padahal sebagai Ibukota Propinsi diusianya yang sudah sekian ratus tahun, adalah hal yang amat sangat wajar jika memiliki identitas khas dan unik yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain di dunia ini atau paling minimal : memilkiki spesifik sebagai kotanya orang Lampung. Hal ini sesungguhnya tak terlampau sulit untuk diimplementasikan sebagai realitas budaya sepanjang para birokrat, politikus, cendikiawan, pengusaha dan budayawannya saling bersinergi membangun kotanya dengan aura kelampungan! Apa itu kelampungan? Paling minim adalah bila warga kota menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan. Sebab jika Warga Bandarlampung bisa melampungkan kelampungannya dengan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa gaul antar sesama, paling tidak satu langkah spesifik sebagai Bandarnya orang Lampung telah terpenuhi. Hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin, sebab komunitas warga Lampung yang menggunakan bahasa Lampung masih bisa kita jumpai di berbagai sudut kota, antara lain: Gedongpakuon, Kuripan, Olokgading, Pengajaran, Kedamaian, Kedaton, Tarahan dan sebagainya. Kendala Utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung di warga kota adalah keengganan warga untuk belajar bahasa Lampung. Jika ditanya, dengan mudah mereka menyalahkan orang lain: Orang Lampung sendiri idak mau berbahasa Lampung! Kilah mereka ringan. Haruskah kita untuk belajar bahasa Inggris dengan mendatangkan orang Inggris?
Langkah berikut yang tidak kalah penting, adalah menata pantai Teluk Lampung mulai dari Tarahan sampai Lempasing sebagai kawasan rekreasi yang amat sangat menjanjikan. Terkesan selama ini jika potensi yang demikian besar dari aspek apapun itu terabaikan. Mestinya Bandarlampung memiliki masterplan terpadu pengembangan Pantai Teluk Lampung yang dikelola secara sistimatis dan sinergis dengan Pemda sebagai inisiatornya (seperti halnya kawasan Ancol Jakarta). Sebab yang ada selama ini adalah sepenuhnya diserahkan ke pihak swasta mulai dari Tarahan sampai Lempasing.Dan hasilnya? Amat sangat sederhana: pasang penghalang di pintu masuk, di pantai di beri gubuk-gubuk seadanya selesai! Padahal jika Kawasan menjanjikan ini dikelola secara komprehensip, bekerjasama dengan investor, maka bukan hal yang mustahil jika Pariwisata Laut Teluk Lampung akan berkembang dengan maksimal yang pada gilirannya akan membuka lapangan kerja, meningkatnya image tentang Lampung yang positif dan meningkatnya PAD. Pada dua dasawarsa lalu memang ada inisiatif dari Walikota Zulkarnain Subing untuk mereklamasi kawasan Kunyit sampai Lempasing yang dikerjakan oleh PT BBS, sayangnya proyek itu terhenti di tengah jalan seiring dengan berakhirnya tugas beliau sebagai Walikota. Padahal jika program reklamasi Teluk Lampung dilanjutkan, kawasan wisata Bandarlampung yang representatif sudah bisa kita miliki dan nikmati, sayang...
Bandarlampung sebagai jantung Propinsi, seyogyanya berperan sebagai puisat kegiatan, panutan seluruh kabupaten/kota, barometer segenap potensi masyarakat, pusat informasi budaya, politik, ekonomi dan bisnis. Pusat rekreasi pantai, rekreasi pegunungan, tempat turis mancanegara memperoleh gambaran yang benar tentang Lampung sudah sepatutnya dipikirkan tidak hanya oleh Pemerintah Kota, tapi juga oleh segenap Warga Kota!
Selamat ulang Tahun Bandarlampungku sayang!

0 komentar: