TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA

Selasa, 25 November 2008

KELAMPUNGAN

“KELAMPUNGAN”
oleh asaroeddin malik zulqornain



‘Seni budaya Lampung’ sebagai refleksi gejolak jiwa ulun Lappung sesungguhnya sudah sejak jaman purba (sampai tulisan ini disusun) telah menjadi Tuan Rumah di Sai Bumi Ruwa Jurai. Terbukti sampai hari ini pembaca masih sering mendengar istilah Cakak Pepadun, Cangget Bakha, Muli Mekhanai, Tapis, Tiyuh, Tari Sembah dan Bahasa Lampung. Agaknya, sebagai tuan rumah yang baik, orang Lampung dengan piil pesenggiri yang mendarah daging di jiwanya, mengikhlaskan saudara-saudaranya yang datang“ "bertamu” ke Sai Bumi sebagai pendatang dipersilakan untuk menikmati kehidupannya diperantauan Lampung dengan budaya leluhurnya masing-masing! Sebagai tuan rumah yang tahu diri, orang Lampung selalu berlapang dada ketika para pendatang memilih bersikap ‘Sai bumi kupijak kidang langitne kuacak-acak’ ketimbang bersikap arif: Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung!
Sikap terbuka ulun Lappung inilah yang sesungguhnya mengakibatkan seni budaya Lampung seolah-olah terkucil, terasing, terabaikan dan terancam punah sebagaimana yang diteriakkan oleh hampir bagian terbesar peserta serial diskusi kelampungan yang digelar Dewan Kesenian Lampung akhir-akhir ini.
Ironisnya, nun di corong RRI Tanjungkarang pada setiap Sabtu Malam, digelar Ragom Budaya Lampung yang ditangani oleh Suntan Purnama dkk dan kini tercatat 60 pekon/tiyuh hadir disana (TMT i Juni 2001 yl) antara lain dari Marga Abung, Selagai Lingga, Buku Jadi, Way Semah, Nuban, Anak Tuho, Nynyai dan masih banyak lagi untuk mengumandangkan Diker, ringget, Minjak Nari, Warahan dan sebagainya yang sudah pasti disenandungkan dengan indah dalam bahasa Lampung (Radar Lampung 10/6).






2

Dari acara Ragom Budaya Lampung RRI Tanjungkarang sesungguhnya membuktikan kepada pembaca bahwa kesenian lampung tetap tumbuh dan berkembang dikalangan orang lampung ditengah teriakan dan kesalah kaprahan para pemerhati kesenian Lampung di Bandarlampung! Kenapa? Karena kesenian sesungguhnya gejolak jiwa seseorang/sekelompok orang yang mencintai dan menjiwai tradisi leluhurnya sungguhpun tanpa bantuan dari siapapun juga! Dan ketika RRI Tanjungkarang mengumandangkan suara seni budaya orang Lampung sekaligus mewartakan kepada dunia bahwa kesenian lam p u n g itu ada dan berkembang sungguhpun hanya dikomunitas yang terbilang kecil! Maka hadirin pun terpukau. Pesonanya meyakinkan kita bahwa kelampungan sampai hari ini tetap utuh dan berkembang! Gemanya berkumandang menggelora bagai debur ombak Laut Teluk Lampung! Kenapa di Begawi Bandar Lampung, Festival Krakatau, atau Diskusi Budaya DKL gema itu tak memantul?. Itu adalah persoalan lain!
Jika di HUT Jakarta 22 Juni lalu, kebetawian demikian menggelora di kalbu segenap warga Jakarta seperti kita saksikan di layar kaca, bahkan kini kebetawian cenderung menguasai jagat layar kaca dan bisa boleh jadi pengaruh betawi akan mencengkram dengan kuatnya dalam prilaku budaya nusantara. Kenapa bisa demikian? Karena orang jakarta amat mencintai seni budaya betawi siapapun dan darimanapun ia berasal!
Kelampungan sebagai roh kesenian bukanlah sesuatu yang lahir dan datang begitu saja dalam jiwa setiap orang Lampung. Dunia kesenian bukan dunia akal-akalan. Bukan dunia retorika apalagi aji mumpung, sebalinya dunia jiwa sejati! Roh kesenian adalah jiwa yang mencinta dengan tulus terhadap leluhur. Mendiskusikan kesenian Lampung dengan hanya mengandalkan rasionalitas jelas suatu hal yang salah kaprah dan keliru besar karena pada akhirnya akan bermuara pada posisi : Cuma bisa bikin kilah ketimbang risalah! Dan menjadi pelaku seni adalah suatu profesi mulia, karena dunia seni sepenuhnya mengandalkan intuisi(perasaan) dan cuma secuil porsi untuk intlektualitas. Seniman amat sangat wajar jika yang bersangkutan dalam berkarya mengandalkan intuisi ketimbang rasio.

3
Seniman sangat intuitif ketimbang intelek! Maka bersebadan dengan kelampungan rasanya bukan hal yang nista apalagi berbahaya. Karena kelampungan adalah masalah perasaan bukan akal-akalan. Dan jika anda mengaku diri sebagai seniman Lampung sehingga berhak mernghakimi kehidupan kesenian Lampung dengan suara sumbang, jelas bukan suatu sikap yang bijak! Terlebih lagi mendiskusikan kesenian Lampung dengan pendekatan rasionalitas lewat jubah dan kacamata di luar bingkai kesenian bahkan mengandalkan status sosial yang bersangkutan di luar dunia kesenian adalah suatu hal yang sepatutnya diperboden karena hasilnya pasti akan merendahkan posisi kesenian Lampung!
Realitas yang mengganjal perkembangan dunia kesenian Lampung adalah sedikitnya jumlah seniman Lampung ketimbang jumlah pemikir kesenian Lampung! Khususnya di Bandarlampung, adalah tempat mangkalnya kaum pemikir kesenian namun amat sangat sedikit kaum perasa kesenian Lampung! Sialnya, Bandarlampung sebagai ibukota propinsi memiliki akses ke jaringan nasional untuk mengitam putihkan kesenian Lampung dan hasilnya? Lampung dinyatakan sebagai Indonesia mini! (Bandingkan dengan kebetawian di Jakarta) Dan adalah hal yang lumrah jika ruang sastra di koran-koran ibukota Lampung lebih banyak menyuarakan sastra indonesia ketimbang sastra Lampung. Lantas sikap orang Lampung? Dengan piil pesenggirinya cuma bisa menangis dalam hati ketika menyaksikan sang pendatang bertandang dengan garang menyuarakan kependatangan mereka diseluruh tempat kesenian kecuali RRI Tanjungkarang. Lalu dengan retorikanya yang aduhai menyalahkan orang Lampung yang tidak mampu memperjuangkan kelampungannya, bahkan seolah-olah kesenian Lampung sudah harus mati tapi ketika yang bersangkutan diajak bicara dalam bahasa Lampung, maka dengan ringan beliau menjawab: tidak bisa! (Padahal ibu dari kesenian adalah bahasa-pen). Bagaimana mungkin ingin menjadi orang Lampung jika belajar bahasa Lampung saja tidak mau? Dalam dunia politik, wajar jika para anggota DPRD berjiwa Pancasila/NKRI. Wartawan berwawasan kebangsaan. Tapi adalah hal yang keliru jika pelaku kesenian Lampung tidak mau tahu, tidak mau cari tahu tapi sok tahu tentang kelampungannya!



4
Para pemikir kesenian Lampung (yang jumlahnya membludak - berbandingterbalik) dengan kaum perasa kesenian Lampung seyogyanya bersikap arif dalam melampungkan kelampungan dirinya di jagat kesenian Lampung. Sikap terbuka penduduk Lampung janganlah diartikan kelemahan. Sikap cueknya janganlah diartikan keangkuhan. Sebab sesunggunnya dibalik semua itu tersembunyi kelembutan jiwa sebagai refleksi dari kecintaan orang Lampung menghayati Piil pesenggiri dan adat/ seni budaya leluhurnya dan lewat corong RRI Tanjungkarang kita akan dengar kelembutan dan keindahan bahasa Lampung yang didendangkan oleh para perasa kesenian Lampung yang datang dari pelbagai sudut terpencil Sai Bumi Ruwa Jurai!
Serial Diskusi Budaya yang di gelar DKL jika ingin out put maksimal yang bermanfaat bagi tumbuh dan berkembangnya dunia seni budaya Lampung khususnya di Bandarlampung seyogyanya di tata ulang, antara lain lebih memperioritaskan kepada kehadiran nara sumber yang berasal dari kaum perasa kesenian Lampung. Dan yang paling fundamental/benang merah sekaligus jiwa dari diskusi ini adalah: Bahwa seni budaya Lampung itu sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang dengan wajar, tetap menjadi tuan rumah yang baik. Namun akibat ulah sebagian pendatang yang enggan mengakui keunikannya dan lebih suka menyebadani kesenian leluhurnya masing-masing-lah yang menjadi penyebab utama terganjalnya pemasyarakatan kesenian Lampung, khusunya dalam penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan antar warga Lampung di Lampung! Dalam membahasnya hendaklah bersikap arif dengan mengandalkan intuisi bukan intletual apalagi sekedar retorik, sebab kesenian bukan akal-akalan tapi perasaan! Pemikiran tentang kesenian dibutuhkan sepanjang untuk perlindungan terhadap karya cipta, upaya untuk memfasilitasi tampilnya kreator seni budaya Lampung yang bermutu, unik dan monumental. Dan hanya kepada seniman Lampung yang mencintai kelampungannyalah yang kelak akan berhasil membesarkan seni budaya Lampung. Jika Inul dengan ngebornya menjadi fonomenal di jalur dangdut, seni budaya Lampung pun suatu ketika pasti akan tampil ikon-ikon baru yang segar dan menggemparkan sepanjang kita memperlakukan kesenian Lampung dengan gelora cinta bukan caci maki! Tabik Pun Puakhii, kilu mahap. (Kedaung, 23062003)

BAHASA LAMPUNG
TAKKAN MUNGKIN PUNAH


OLEH: A.M.ZULQORNAIN


Ketika Tanoh Lappung, “Sai Bumi Ruwa Jurai” (tulisan yang terdapat pada lambang daerah Lampung) yang artinya Satu Bumi dua keturunan: Pepadun & Saibatin dipelintir maknanya menjadi ‘pendatang dan asli’, dapat dipatahkan dengan argumen jangankan di Lampung bahkan di kutub utara pun sekalipun pasti ada penduduk asli dan pendatang, Muncul kemudian slogan bahwa Lampung adalah ‘Indonesia mini’ Dan Gubernur Lampung, Syahroeddin ZP dengan lantang mematahkan isu murahan ini dalam pidato pembukaan pergelaran kesenian Lampung di Saburai (23/7), karena ‘Indonesia mini’ jika diartikan sebagai tempat berkumpulnya beragam suku/etnik pasti bisa didapatkan dimana saja di wilayah NKRI dari Sabang sampai maroeke

Jika di daerah lain di luar daerah Lampung filosofi “Dimana bumi di pijak – disitu langit di junjung” dalam arti seseorang harus segera ‘mempalembangkan’ dirinya dengan dialek “berapo ongkos ke Plaju, Mangcek?” (Palembang) atau membetawikan dirinya dengan dialog lu-gue ketika di Jakarta dan seterusnya sampai harus memelayukan bahasanya ketika kembali ke kampung halaman setelah menjadi TKW/TKI di negri Jiran,




2
Di Lampung justru sebaliknya, bahkan muncul joke: Ada dua orang sedang terlibat pembicaraan berbahasa lampung, lalu datang orang ketiga yang tidak bisa berbahasa lampung, dan agar yang bersangkutan bisa langsung terlibat pada pembicaraan maka kedua orang itu serta merta mengganti bahasanya bukan dengan bahasa Indonesia justru bahasa ibu si orang ketiga!

Ketiga fakta yang penulis sebutkan di atas merupakan hambatan utama dalam pemasarakatan bahasa Lampung, kesemuanya bersumber dari tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung bahkan merasa liom (malu-pen) dan merasa diri kampungan jika berkomuniasi dalam bahasa ibunya

Lampung sebagai kesatuan budaya rasanya tidak mungkin mengundang kontroversi lain halnya jika menjadikan lampung sebagai kesatuan politik dan plihan menjadikan bahasa lampung sebagai alat berkomunikasi antar sesama warga –sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah NKRI- dapat dijadikan sebagai benang merah yang mengikat warga untuk membangun lampung dengan kebersamaan dalam persepsi, misi dan visi sehingga kebangkitannya sebagai propinsi yang unggul dan memiliki daya saing dapat segera terwujud, Dan Semboyan “Demimu Lampungku-padamu baktiku” seyogyanya membara di setiap jiwa warga lampung




3
Berkembang hanya di masyarakat adat
Bahasa daerah Lampung adalah salah satu dari 700 bahasa ibu yang ada di Indonesia, sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang terutama di masyarakat adat di seluruh wilayah Lampung sungguhpun dalam upaya pemasarakatannya masih dilakukan dengan setengah hati dan kurang mendapat dukungan maksimal dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. namun masyarakat adat Lampung di pedesaan tetap setia memakai dan mem’besarkannya’ seperti halnya bisa kita dengar di RRI Tanjungkarang dalam acara ‘Ragom Budaya Lampung’ pada setiap malam minggu. Kumandang kesenian sastra lisan Lampung yang disuarakan oleh berbagai kelompok masayarakat adat dari seluruh peloksok Lampung yang datang berbondong-bondong pun tanpa di bayar sesen pun adalah bukti nyata eksistensi dan revitalisasi bahasa lampung ditengah upaya pemarjinalan yang maksimal dari para elit dan tidak tersedianya pejuang budaya yang peduli dengan perkembangan bahasa lampung di level propinsi.

Elit cuma sibuk seremoni
Minimnya dukungan budaya dari para elit di level propinsi tidak membuat perkembangan bahasa Lampung terpuruk, namun akan jauh lebih baik jika sikap moral para tokoh masyarakat adat Lampung lebih mengedepankan upaya dan setrategi bersama memasyarakatkan bahasa Lampung ketimbang sibuk dalam kegiatan yang bersifat seremoni dan politik praktis thok!



4
Akan Jauh Lebih mulia jika para elit Lampung bersikap bijak untuk mensosialisasikan pembuatan perda penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari, atau memperjuangkan terbitnya peraturan gubernur tentang kewajiban berbahasa Lampung bagi setiap pejabat dalam acara non resmi, misalnya ketimbang meneriakkan kegalauan bahwa bahasa lampung 75 tahun lagi akan punah, terlebih lagi penilaian seperti yang disuarakan oleh Rektor Unila Muhajir Utomo…”..bahasa jawa atau minang tidak usah dimotivasi pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendirinya , tapi kalau bahasa lampung kan tidak? Bahasa Lampung membutuhkan komitmen…dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya” (Lampos 22/2/07) Tentu akan jauh lebih mulia jika beliau membuka kembali Program studi D-2 & D-3 Bahasa Lampung yang sejak tahun 2003 ditutup.

Revisi program mulok
Memang Pemerintah Daerah khususnya bidang pendidikan telah melaksanakan program dalam upaya mensosialisikan bahasa lampung yakni memasukkannnya dalam kurikulum muatan lokal sejak SD sampai SMTA. Dalam perkembangannya memang mengalami hambatan dalam arti implementasi pembelajaran bahasa lampung tidak muncul dalam operasional anak didik ketika berkomunikasi.. Hal ini terjadi akibat ditetapkannya skala prioritas dalam kurikulum tersebut pada kemampuan siswa menulis aksara lampung (kaganga) ketimbang dapat bicara bahasa Lampung.



5
Untuk ke depan, akan jauh lebih baik jika kurikulum tersebut di revisi., dalam arti untuk tingkat SD sampai SMTP lebih focus pada kurikulum pembelajaran bahasa lampung secara aktif, sehingga hasilnya akan dapat dinikmati langsung oleh anak didik baik dalam berkomunikasi verbal dengan lingkungan dan orang tuanya.maupun untuk korespondensi. Untuk belajar Aksara Lampung dapat dimunculkan di tingkat SMTA.

Hal ini perlu segera dibenahi karena out put muatan lokal bahasa daerah lampung saat ini hanya sekedar mengantarkan anak didik untuk dapat menulis aksara lampung dengan benar, sehingga terkadang muncul kebingungan dari para orang tua yang notabene biasa berbahasa lampung ketika putranya memintanya untuk menyelesaikan pe-er yang ditulis dalam aksara Lampung!

Jika hal ini bisa dilaksanakan, penulis yakin bahwa generasi muda Lampung terutama di daerah perkotaan akan dapat berkomunikasi dalam bahasa Lampung dan tujuan pendidikan bahasa Lampung di sekolah akan menuai hasil yang maksimal. Sebaliknya jika kurikulum tidak di revisi, proses pemasarakatan bahasa daerah lampung akan terkendala dan hanya sekedar penambah nilai untuk bisa lulus sekolah tepat waktu






6
Tidak cukup Cuma sekedar merek
Melampungkan kelampungan orang lampung dengan menjadikan bahasa lampung sebagai bahasa pergaulan antar sesama warga di seluruh wilayah lampung pada akhirnya akan dapat membangun jati diri orang lampung yang berpiil pesenggiri bukan sekedar klise dalam sebutan kopi lampung, lampung plaza dan sebagainya.
Penyadaran untuk bersama berbahasa lampung paling tidak dalam pergaulan sehari-hari, entah di pasar, kantor, rumah, atau dimana saja dan kapan saja diharapkan akan dapat menumbuh kembangkan kesadaran untuk menjadi orang lampung sejati. Bagi penduduk asli memulainya dengan meminggirkan budaya liom ketika harus berkomunikasi dalam bahasa ibunya dengan siapapun, dan pendatang mesti memiliki rasa banggga untuk menjadi orang lampung. Jangan saling salah menyalahkan, siapapun dia darimanapun asalnya ketika merasa sudah pandai berbahasa lampung mesti siap dan berani menyebar luaskannya ke orang-orang terdekat disekitarnya, begitu pula halnya kepada yang ingin menjadi dan menguasai bahasa lampung, maka dia harus berguru, karena bagaimanapun juga takkan ada guru yang mencari muridnya!

Pemerintah Daerah memang berkepentingan dan bertanggungjawab dalam pelestarian bahasa lampung, namun dalam prosesnya harus melibatkan seluruh warga tanpa terkecuali dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai proyek moral sebagai pertanda rakyat lampung sejati


7
‘Dialek’ lampung - indonesia
Pada saatnya nanti Indonesi akan mengenal ‘dialek’ lampung – Indonesia yang khas dan unik di media tivi nusantara, sehingga peranannya dalam perkembangan bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dan disejajarkan dengan daerah – daerah lain yang sudah lebih dahulu dikenal. Kondisi ini akan segera kita nikmati jika budaya liyom ulun lappung dan budaya bangga pendatang yang tidak bisa bicara lampung binasa bersama berkat tuah piil pesenggiri yang menjadi kekuatan sejati rakyat Lampung. Jika prosesi sebambangan (bergabungnya dua kekuatan yang saling mencintai) ini terjadi, insyaallah Bahasa Bumi Ruwa Jurai akan berkumandang dijagat nusantara. KIMAK GANTA KAPAN LAGI, KI MAK KHAM SAPA LAGI, PUAKHII (Sukamaju, 25307)



PUISI-PUISI BERBAHASA LAMPUNG:

LOHOT JAK LAMPUNG ART EXPO 2004

Puisi asaroeddin malik zulqornain

Lampung Art Expo 2004
Ganta Hatong lagi di Sai Bumi Khuwa Jukhai
Guwaine DKL Jejama Perupa Andalas
Ngukhikko seni rupa Sumatra

Jak Seminung sampai Rajabasa
Jak Pubian sampai Kelumbayan
Wat Kaganga sampai Canggot Bakha
Wat Pisa’an sampai Bubandung
Sinalah sikam Ulun Lappung
Sinjilah Seni budayo lappung

Temadan wi temadan
Ki kham pagun liom hati
Jadiko senibudayo kham
Pesirah di lamban tenggalan


Puakhi wi Puakhi
Helaune Kham Mak Miwang lagi
Bangga bangga wi kuti
Jadi Ulun Lappung

Lampung Art Expo 2004
Ganta kham nikmati jejama
Sesanne DKL
Jamo Ruwa Jurai




LOHOT JAK PUAKHI
Puisi asaroeddin malik zulqornain


Jak Seminung sampai Rajabasa
Jak Pubian sampai Kelumbayan
Wat Kaganga sampai Canggot Bakha
Wat Pisa’an sampai Bubandung
Sinalah sikam Ulun Lappung
Sinjilah Seni budayo lappung

Temadan wi temadan
Ki kham pagun liom hati
Jadiko senibudayo kham
Pesirah di lamban tenggalan


Puakhi wi Puakhi
Helaune Kham Mak Miwang lagi
Bangga bangga wi kuti
Jadi Ulun Lappung
2005





LEBON

Tagan nyak tenggalan sai ngeliak
Kenawat lebon di kanik ulun jak tengkudu
Sesanoman pedom di lamban pekon ampai
Kidang mak kutungga juga puting beliung
Ulih tetabuhan kulintang pring mak kunyana
Didengi tian panglipangdang

Halok kuti mulang mit pekon tenggalan wi
Tagan, taganko kenawat ki mak liyu
Lapah cukut pah lapah
Mulang muakhi mak bepuakhi
Ulih kenawat khadu bela caibucai

Hagani kuti kham sinji teberuh di hanghlaya balak
Lebon di pekonku tenggalan
Kidang cangget agungku
Seangkonan pedom di lom hati
Temadan ki kenawat dikanik tian
Kham mak bela puakahi!

Sukamaju 150103





LOHOT TANDANG MIDANG

Lohot tandang midang
Kipak tikham kemawasan
Liom pulipang besanding pring
Liom kanah kidang ganta caibucai
Ukhik hagane bersemanda tanoh lappung
Tunggutubang lipang mak kulipang
Tunggu bangik kipak sansat mak selamat

Lohot tandang midang
Pulipang tanoh sebrang
Kipak tiuhmu bella
Kidang tikhammu ganta sebambangan
Jama puakhimu tenggalan

Hagane kuti ingok jama pekon ampaimu,
Tanoh Lappung
Dang dang beni kuti kemawasan
Dang Dang beni kuti kebablasan
Mulang mulang wi puakhi
Tanoh lappung tikham midangmu
Ulun Lappung puakhimu ganta

(Sukamaju, 220103)



JUADAH GERBANG SUMATRA
Oleh asaroeddin malik zulqornain

“khangok Gerbang Sumatra”
Adokne Ruwa Jurai Sai dikeni ulun nusantara
Ulih Mati lamon tian ngusung sesan anjak pekon kham sinji
Mulai kupi, kekhipik gedang sampai sambol
Sinalah sai dikenang tian jak Bumi Lado

Temon kham wat kaganga
Kidang Cuma di kertas ulangan sanak sekula
Tian mak mungkin tungga di Mall, Pasar, Pelabuhan
api moneh di hanglaya

Temon Wat tari sembah
Kidang watne di seremoni pejabat hatong
Temon Kham wat dadi, pisa’an sampai bubandung
Kidang Cuma dapok didengi anjak RRI tanjungkarang

Pangpulipang lipang mak kunyana
Wajar ki tian mak kenal dialek kham di tivi
Ulih Kham Cuma dikenal tian sebagai
si kupi, si kekhipik jama si sambol
anjak tumbay!
Sebagai juadah di khangok gerbang sumatra!

Puakhi,
Pagun kodo budayo kham dapok besanding pekhing
Sebagai zamrud khatulistiwa?
ukhikko kebanggan kham
Selaku ulun Lappung tanno!

Kedaung, 0412042300






BANDARLAMPUNGKU 323 TAHUN
ASAROEDDIN MALIK ZULQORNAIN

UNGGAL HANI KUHANIPI HANGLAYA HATI
TELIYU MIT PESAWARAN SAMPAI OLOKGADING
NYEPOK KICAUAN MANUK BERKAGANGA
JUADAH BANDARLAMPUNGKU SAYANG

LOHOT TANDANG MIDANGKU GANTA MAK LAGI
BESANDING KEANGKONAN
ANGKONKU MAK BEPUAKHI
JAMA PEKON TENGGALAN!

LIPANG DANG LIDANG, PUAKHI
PAGUN KODO KHAM NGANIK JUADAH JEJAMA?
DILOM KICIK, DI LOM KICAU, DI LOM LAMBAN,
DI LOM TUNGGA MIDANG
SAI KUHANIPI UNGGAL HANI?


LAHLAWI API DAYA
KI KHAM HAGA NYEPOK PEKON SIKAM
ANJAK HANGLAYA HATI
ULIH GANTA HADU HAGA LEBON
KIDANG KI MAK GANTA KAPAN LAGI
KI MAK KHAM SAPA LAGI
SAI HAGA BEPUAKHI DIKICAUAN MANUK-MANUK
KHUWA JUKHAI

UNGGAL HANI KUHANIPI
UNGGAL HANI KUSEPOK
JUADAH BANDARLAMPUNGKU SAYANG:
KAGANGA

SUKAMAJU, 150605

Minggu, 23 November 2008

RESENSI

KETIKA “AROMA CENDANA MEREBAH KE SELURUH NEGERI”
Oleh: Asaroeddin Malik Zulqornain

“IMAJINASI” bagi seorang Pengarang adalah segalanya, berkat kekuatan imajinasinyalah seorang pengarang mampu menghasilkan karya bermutu. Dan cerita ’berlatar belakang sejarah’ terkadang di pilih oleh seorang pengarang sebagai arena untuk mempermainkan imajinasinya itu! Seperti halnya yang telah dilakukan oleh seorang Pertiwi Utami siswi SMUN 15 Bandarlampung yang minggu ini coba kita kupas cerpennya yang berjudul” AROMA CENDANA MEREBAH KE SELURUH NEGERI”

Cerita berlokasi di sebuah desa di Timor Leste pada saat proses integrasi kedalam wilayah NKRI sekitar tahun 1900-an dengan bentuk narasi ’saksi mata’ sang tokoh ’Aku’ yang yatim piatu (orang tuanya juga menjadi korban) ketika menyaksikan proses pembantaian terhadap warga yang menolak integrasi dari sebuah bilik bertumpukan jerami, Bagaimana kami melihat mayat-mayat itu di bakar hingga hangus menjadi abu dan debu yang berhamburan...demikian tuturnya di awal cerita”...Dari bilik itulah kami merasakan hari-hari yang menjadi sebuah ketakutan yang mengerikan. Kami terbiasa bernyanyi lagu-lagu tanah kelahiran. Namun sekarang memaksa diri untuk tidak melakukan kebiasaan yang telah mendarah daging itu” Sang Tokoh Aku tak mampu berbuat apapun demi untuk menolong, ....Mereka terpaksa menjahit seluruh inderanya seakan meleburkan diri bersama leburan lilin cair yang menyakitkan. Berpura-pura tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu dilakukan semata menjaga nyawa-nyawa ini yang bagi mereka tidak seperti dihargai. ”Akan kami tutup mata ini dengan kedua tangan, lalu masuk ke bawah ranjang lapuk. Diam dan bersembunyi” dan ”Takkan kami lepaskan jiwa-jiwa ini dengan begitu saja!....”Sungguh tidak mengenakkan menyaksikan tragedi kemanusiaan yang pada gilirannya hanya membuat rakyat tak berdosa yang jadi tumbalnya, Kami tidak tahu mayat-mayat siapa itu, tubuh siapa itu, darah siapa yang mengalir. Kami hanya tahu mayat-mayat itu membuat ayah, saudara, ibu ataupun adiknya tak ada yang berani mengakuinya. Menyakitkan melihat keluarga mayat-mayat itu tak ada yang memakamkan.....Tidakkah mayat-mayat itu bangkit dan meminta untuk dimakamkan sambil menangis dan merengek-rengek...walaupun kami mengupah seseotrang dengan beberapa batang emas tidak ada yang bersedia Ya Pada gilirannya sang aku pasrah: Kami tidak tahu siapa yang harus disalahkan.

Dampak psikologis dari tragedi kemanusiaan ini coba dirilis sang aku, ”Ketakutan menjadi kehitaman hati yang teriris-iris. Hak asasi kami telah hilang seiring zaman dan berangsur-angsur lumpuhnya seluruh desa yang perlahan tertutup tabir kehidupan, ”Kami tahu pro-kontra yang terjadi di desa ini telah membuat bulu kuduk berdiri. Padahal perbedaan seperti itu menjadi hal biasa untuk dapat hidup dan membuka cakrawala. Kalau seperti ini, bagaimana kami bisa berani melepas setiap jahitan indera yang telah kami rajut dengan gulungan benang ketakutan dan trauma”

’Kehitaman hati yang teriris yang telah menjadi gulungan benang ketakutan dan trauma’ adalah metafora yang cerdas untuk melukiskan kondisi rakyat yang tertekan dan hal itu sulit dibayangkan bisa dimunculkan oleh seorang anak ABG yang ketika peristiwa itu terjadi mungkin saja masih bayi, namun kekuatan dan keliaran imajinasi sang penulis lah yang membuat cerita ini seolah ’bernyawa’(padahal bisa dipastikan jika si penulis tak mengalami langsung peristiwa nun di Timor Leste sana) .....”Lihatlah Desa sekarang ini, Tuan, tidak ada yang bisa kau saksikan kecuali mayat-mayat yang terbujur kaku dan terbakar di sana”

Dengan Bermodalkan kekuatan imajinasinya, seorang Pengarang pasti akan mampu melahirkan cerita yang kuat sebagaimana halnya Pramudya dengan Tetralogi ”Bumi Manusia-’nya, sepanjang ia mau mengumpulkan segala fakta yang berkaitan dengan masalah yang menjadi titik sentralnya. Dalam Hal ini, Pertiwi Utami berusaha mendokumentasikan pengetahuannya tentang Timor Leste di era integrasi dari berbagai sumber sungguhpun dari sisi fakta banyak yang kurang tepat, namun sebagai karya fiksi yang coba melukiskan tragedi kemanusiaan dengan rakyat sebagai korban patut kita acungi jempol!

Ketika Aroma Cendana telah merebah ke seluruh negeri, Jadilah desa ini seperti Bandung Lautan Api. Kami sungguh ngeri melihatnya, dengan tangan kami berpuira-pura tidak tahu. Betapa hati kami sedih, namun kami hanya tutup mulut mencoba menahan isak tangis ini ”Takkan kami jumpai tempat persembunyian dimana kami melihat peristiwa ini. Kami akan merindukan desa ini dan semuanyua, sahabat kami juga tetabuhan”

Dari strukur penokohan, disamping tokoh sentral aku dan kami(mungkin adiknya) , orang tua dan lima sahabatnya yang telah tewas, ternyata muncul pula seorang nenek, Seorang nenek yang memegang tongkat yang bernyanyi lagu yang biasa kami nyanyikan sambil memetik senar dawainya. Sayangnya tokoh nenek terkesan dihadirkan sekedar untuk melukiskan bahwa bagaimanapun budaya daerah takkan mungkin hancur oleh keangkuhan sang angkara!

Sang Aku dan Kami memilih menjadi pengungsi yang kemudian di adopsi oleh keluarga lain di luar desa, ”Disini banyak anak tanpa orang tua, mereka seperti kami tidak memiliki atap untuk berteduh, juga seseorang yang bisa kami peluk erat” Kami hanya membawa pakaian yang melekat saja. Biarlah harta itu tetap terkubur disini. Aman dan terlindungi dari jamahan mereka. Takkan kami biarkan tangan yang telah membakar mayat-mayat itu mengusiknya, ”Cukuplah Balai Desa itu kau Bakar”

Kisah seorang anak yang luput dari bencana justru ketika aroma kematian begitu meraja di desanya , sehingga kedua orang tua dan lima sahabatnya turut menjadi korban sesungguhnya tak hanya terjadi di Timor Leste di tahun 1900-an, tapi juga tragedi semacam ini terus menerus berlangsung sejalan dengan dinamika kehidupan, seperti halnya tragedi Adam Air, Lavina 2 dan sebagainya-dan sebagainya,. Persoalan bagi kita adalah, tragedi kemanusiaan itu bisa menimpa siapa saja anak indonesia namun yang perlu kita catat bahwa itulah resiko hidup! Kematian adalah tarian yang harus dijalani oleh seseorang namun idealnya berlaku secara alamiah, tidak dipaksa oleh keadaan apalagi oleh yang namanya kekuasaan!

Dan Dengan imajinasinya yang piawai, Pertiwi Utami coba menyudahi cerpennya dengan gambaran kerinduan dirinya terhadap teman-temannya semasa hidup dalam pengasingan, ”Sekarang dimana kalian? Sudah 15 Tahun kita tak lagi berjumpa, setelah kalian di asuh oleh orang yang berbeda. Bagiku kalianlah pahlawannya”

Namun di bagian penutup, secara implisit, muncul galau dan bahkan ironi sang tokoh justru disaat,.....aku bisa mendengar nyanyian anak-anak timor kecil yang riang di atas tanah harta moyang kami yang dilindungi. Tugasku telah selesai. Harta kami diwariskan kepada anak-anak itu untuk kemudian dijaga. Dan ketika saatnya tiba mereka yang akan menjadi sendiri seperti kami yang seperti dianggap tidak ada keberadaannya.



Tugas apa yang dilakukan sang tokoh ketika kembali ke tanah kelahirannya? Sehinga ketika tugas itu telah selesai dikerjakannya dia harus kembali? Mengapa harus kembali? Kembali kemana? Mengapa keberadaannya dianggap tidak ada? Itulah pertanyaan yang muncul ketika kita menyudahi membaca Cerpen ini. Terkesan amat sangat menggantung sekaligus menantang kita untuk merenung. Dan sesungguhnya di titik inilah kita dapat menyimpulkan bahwa kekuatan sekaligus kelemahan cerpen ini justru pada endingnya! Maka adalah hal yang lumrah jika kemudian Cerpen ini dinobatkan Kantor Bahasa Provinsi Lampung sebagai Cerpen pemenang 1 Sayembara Cerpen Tingkat SMTA Tahun 2006. Selamat.


KARENA BOLA MATAMU


OLEH A.M.ZULQORNAIN

AKAN BEGITU BANYAK RAYUAN GOMBAL ANDA BISA PEROLEH KETIKA MELAHAP SEKITAR LAPAN PULUHAN PUISI DI BUKU YANG DIBERI JUDUL “KARENA BOLA MATAMU” BIKINAN BUNG IPUL ALIAS SAIFUL IRBA TANPAKA (46) DARI TELUKBETUNG…..SIALNYA KEGOMBALAN ITU BUKANLAH SEKEDAR RAYUAN YANG CAIBUCAI JUSTRU SEBALIKNYA: BICARA TENTANG CINTA YANG DITULIS DENGAN JUJUR DAN SEDERHANA NAMUN MEMAGUT HATI ANDA UNTUK TERUS MENGULITI ALUR CINTA YANG MELIUK MENGGELITIK SANUBARI SIAPAPUN YANG MENYIMAKNYA BAHKAN DENGAN LANTANG IPUL MEMPOSISIKAN DIRINYA SEBAGAI SANG PENYAIR CINTA SEBAGAIMANA KITA TEMUKAN DI PEMULA BKP INI ……..Aku Penyair Cinta. 1000 Tahun Tak Sudah. Menyeru-Nyeru Namamu. Dari Sepi Malam Dari Gemuruh Siang. Gelisah Yang Mengambang . ………….Aku Penyair Cinta. Menulis Puisi Cinta. Dari Senyuman Bibirmu Dari Tatapan Matamu. Dari Segala Dirimu. Asmara Membutku Mabuk Da Menderita

CINTA ITU ABSURD, MAYA, MISTRI NAMUN MEREKAT ERAT DI JIWA TIAP INSAN, SEBAGAI BUAH PERADABAN, TUAH KEHIDUPAN, PRASASTI DAN ROHNYA BINATANG BERAKAL YANG BERNAMA MANUSIA, DAN CINTA TERHADAP HUBUNGAN SESAMA ANAK MANUSIA (BACA: PRIA-WANITA) ADALAH BAGIAN TERKECIL NAMUN SOSOK TERPENTING DALAM SEJARAH KEMANUSIAAN, BAHKAN DENGAN JUJUR BELIAU MENERIAKKAN KECENGENGANNYA,…….Kalau Aku Bulan. Kau Purnamanya Kalau Aku Matahari. Kau Cahayanya. Kalau Aku Lautan. Kau Ombaknya. Kalau Aku Biola. Kau Iramanya. Begitu Hati Menyala-Nyala. Padamu PENDEKNYA SANG PENYAIR CINTA NAMPAKNYA MANTAP UNTUK MEMBUKUKAN KALIMAT-KALIMAT CINTA YANG PENUH KECENGENGAN SIALNYA LAGI-LAGI TIDAK CENGENG!

SUNGGUH! INI PUISI YANG DITULIS PENYAIR CINTA DENGAN SANGAT-SANGAT NAIF, APA ADANYA, DENGAN METAFORA YANG UMUMNYA KITA BISA RASAKAN DALAM HIDUP KESEHARIAN, DENGAN DIKSI YANG LUMAYAN KUAT TIDAK GELAP, ATAWA SOK ANEH, SOK HEBAT, SOK KEREN, KETIKA BERUPAYA MEMUNCULKAN HARMONI DALAM MENYENANDUNGKAN KATA MENJADI SUATU TARIAN TENTANG CINTA YANG MEMILIKI LISENSIA PUITIKA MENAWAN


SEBAGAIMANA DAPAT KITA TEMUKAN PADA BAIT YANG MENJADI JUDUL BKP INI: SBB:……..Aku Terpesona. 1000 Butir Embun. Berkilau Di Bolamatamu. Maha Keindahan. Istana 1001 Impian. Akulah Rajanya. Lalu Siapakah Engkau. Kusebut Gadis Atau Cinta. Putri Maha Jelita. Berkelana Dalam Diriku. 1000 Tahun Nyanyian. Melagukan 1 Tatapan……………Aku Terpesona Bagai Ikan Menggelepar. Bagai Daun Bergoyang. Bagai Pelangi Menari-Nari. Jiwaku Tunggku Melati. Putih Dalam Keindahan. Indah Dalam Kedamaian. Karena Bola Matamu. 1000 Khayal Padaku Maha Kerajaan. Keroiangan Yang Biru. Ahai!………….Aku Disileti Bayanganmu. Kenapa Begitu Pedih. Kenapa Begitu Perih. Kenapa Begitu Cintaku. Tangisan Yang Beludru. Kau Sulam Dihatiku

PUISI SEBAGAI KARYA SASTRA MEMANG WAJIB DI TULIS DENGAN PILIHAN KATA YANG LAZIM DI PAKAI DALAM KEHIDUPAN NYATA SEHARI-HARI, BUKAN KATA-KATA ANEH, NAMUN MENJADI HAL YANG TIDAK BIASA KETIKA SANG PENYAIR MENYUSUNNYA MENJADI KALIMAT / UNGKAPAN BARU YANG DIDALAMNYA MEMUAT DIKSI, METAFORA(SIMBOL-SIMBOL) SEDERHANA NAMUN NYAMBUNG KARENA BERHASIL MENUANGKAN IMAJI LIAR YANG MEMBUNCAH KALBUNYA DALAM BENTUK TEKS YANG MEMUAT RASA , MAKNA, KESAN YANG SERBA BARU DAN INDAH…….DAN SAIFUL MAMPU MENYUGUHKAN TARIAN KATANYA DALAM KBM DENGAN SANGAT LIHAI SEHINGGA PUISI-PUISI YANG DITULISNYA SEOLAH BERSENANDUNG RIANG MENARIKAN TARIAN CINTA DENGAN LIRIK-LIRIK GOMBAL, UNGKAPAN – UNGKAPAN CENGENG NAMUN SEKALI LAGI JAUH DARI KESAN GOMBAL DAN CENGENG!

KEKUATAN UTAMA KBM ADALAH KEMAMPUAN IPUL UNTUK MEMBUNYIKAN TEKS CINTA DENGAN NAIF/APA ADANYA NAMUN MENYENTUH BAGIAN TERDALAM SETIAP ANAK ADAM YAKNI NURANI! BAGI PARA ABG YANG SEDANG, AKAN ATAU PUTUS CINTA, SILAKAN AMBIL PUISI YANG ADA DALAM BUKU INI SEBAGAI CONTEKAN LALU KIRIMKAN KEPADA PACAR ANDA, SAYA YAKIN, SIAPAPUN YANG MENERIMANYA AKAN TERGETAR HATINYA, LULUH EGONYA DAN ANDA PASTI BERHASI MEMILIKINYA …..Karena Cintaku Lautan. Kusebut Kau Kekasih. Karena Cintaku Pegunungan. Kusebut Kau Kekasih. Karena Cintaku Cakrawala. Kusebut Kau Kekasih Maka Bukalah Hatimu (KUSEBUT KAU KEKASIH HALAMAN 33)


KARENA SESUNGUHNYA HAKEKAT CINTA SEPASANG ANAK ADAM, TERUTAMA BAGI KAUM PRIA, ADALAH BAGAIMANA MEMBIDIK DAN MELESATKAN BUSUR PANAH AMOR ANDA PERSIS MENANCAP DI JANTUNG SANG PUJAAN UNTUK KEMUDIAN DIKUASAI OLEH ANDA ATAS NAMA KESETIAAN DAN KETULUSAN CINTA. DAN YANG NAMANYA RAYUAN GOMBAL, KALIMAT-KALIMAT CINTA YANG CENGENG SIALNYA BAGI KAUM HAWA TANPA DISADARI JUSTRU ADALAH AJI PAMUNGKAS UNTUK MELULUHKAN KEBEKUAN HATI SANG DEWI. HAMBATAN MUNCUL KETIKA SANG ARJUNA TAK PUNYA KEMAMPUAN UNTUK MEMBUAT UNGKAPAN-UNGKAPAN KALBUNYA DENGAN BERNAS, PAS DAN SAKTI………UNTUK ITU JANGAN KHAWATIR. BUNG IPUL SUDAH MENYIAPKAN CONTEKANNYA SILAKAN ANDA PILIH MANA PUISI YANG PAS UNTUK JADI SENJATA ANDA BUAT MEMAGUT SANG PUJAAN HATI, GAK PERLU PUSING-PUSING. DISINILAH KEKUATAN KBM, SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MENULIS PUISI BAGI PARA PEMULA, DAN SANG PENYAIR CINTA BOLEH KITA JULUKI SEBAGAI SANG GURU PUISI CINTA YANG OKE PUNYA!

SAYA SALUT PADANYA PADA KEBERANIANNYA UNTUK MENGEMBALIKAN HAKEKAT PUISI KEPADA KESEDERHANAAN DAN KEJUJURAN PENGUNGKAPAN SUNGGUHPUN OLEH PARA PENYAIR BESAR MUNGKIN DIANGGAP HAL INI CUMA KUMPULAN PERMAINAN KATA SEORANG IPUL YANG TIDAK ADA ARTINYA SAMA SEKALI! TAPI TIDAK BAGI SAYA JUGA TEMAN-TEMAN KAWULA MUDA JUSTRU KBM ADALAH MEDIA APRESIASI PUISI, DAN PUISI BUKAN HAL YANG MESTI DITAKUTI, DIANGGAP ANEH, DIANGGAP MAHLUK ANTAH BERANTAH. PUSI ADALAH CETUSAN NURANI TERDALAM ANAK ADAM DALAM BENTUK TEKS YANG MAKNANYA RELATIF BISA DIANGGAP MEWAKILI PERASAAN ORANG-ORANG YANG MEMBACANYA!

Kamis, 20 November 2008

ESAI

“MENGARANG” ITU PERLU

BUKU ADALAH JENDELA DUNIA , MENGEMBANGKAN BUDAYA MEMBACA SEJAK DINI PADA DIRI SESEORANG NISCAYA AKAN MEMBANTU YANG BERSANGKUTAN MEMAKSIMALKAN KEMAMPUAN NALARNYA SEKALIGUS YANG KELAK MENJADI PEMBEDA MAKHLUK MANUSIA DENGAN MAKHLUK LAIN DI ALAM INI BERKAT KARUNIA DARI SANG PENCIPTA, YAKNI ‘AKAL’ UNTUK BERPIKIR.
MENGGUNAKAN AKAL SECARA MAKSIMAL ADALAH DENGAN MENGEMBANGKAN DAYA KRETIVITAS KITA, DAYA CIPTA KITA! DAN ITU BISA DI MULAI DENGAN KETRAMPILAN MEMBACA TEKS DENGAN PENUH KONSENTRASI.

TERDAPAT PERBEDAAN MENCOLOK ANTARA POSISI PEMBACA DAN PENONTON; MEMBACA SANGAT TERGANTUNG KEMAMPUAN SESEORANG MENCERNA TEKS, KIAN TERLATIH BERKONSENTRASI, KIAN CEPAT SESEORANG MENYELESAIKAN NASKAH YANG DIBACANYA, SEBALIKNYA MENJADI PENONTON, PASTILAH DENGAN SECARA BERSAMA-SAMA/MASSAL KETIKA MENYELESAIKAN TONTONANNYA.

CIPTAAN YANG PALING MINIM MENGGUNAKAN SUMBER DANA ADALAH MENGARANG, KARENA BAHAN BAKU UTAMANYA CUMA KATA!

DAN MENGARANG TERMASUK KARYA CIPTA YANG PALING MUDAH KITA KERJAKAN SEPANJANG KITA CUKUP MEMILIKI DAN MENGUASAI:
1. BAHASA
2. IMAJI
3. KONSENTRASI
4. ILHAM
5. KETEKUNAN

SIALNYA HIDUP DI ERA SERBA TOMBOL INI MEMBUAT KITA MENJADI MANJA DAN LEBIH SENANG SEBAGAI MASYARAKAT PENONTON YANG BERSIKAP PASIF, GEMPURAN TOMBOL-TOMBOL KECANGGIHAN TEHNOLOGI, LEBIH KUASA MENGHABISKAN 24 JAM WAKTU KITA UNTUK TERPAKU DI MUKA TIVI, NEGECENG DI MALL, NONTON DI STADION, DAN HANYA BEBERAPA SAJA DIANTARA KITA YANG MEMILIH MENGGUNAKAN WAKTUNYA UNTUK MENJADI ‘ORANG YANG SEDIKIT’ DENGAN MENGGUNAKAN OTAKNYA UNTUK MENGARANG:”KELUAR DARI KUNGKUNGAN BUDAYA KONSUMTIF, MENYENDIRI, MENARIK DIRINYA UNTUK MENJADIKAN DIRINYA SEBAGAI SANG KREATOR /SI PENCIPTA”

MENULIS SURAT SESUNGGUHNYA PERNAH MENJADI MENU UTAMA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR MULAI DARI TINGKAT SD SAMPAI SMTA, NAMUN KINI TERDESAK OLEH KIAN CANGGIHNYA ALAT KOMUNIKASI, MULAI DARI TELPON, HP SD INTERNET, HINGGA PERAN SENTRAL KANTOR POS SEBAGAI MEDIATOR BERKOMUNIKASI LEWAT SURAT KINI NYARIS MINIM SEHINGGA MEREKA LEBIH BERPERAN MELAYANI MASYARAKAT MENCAIRKAN BLT!



NAH, MENULIS SURAT / BERKORESPONDENSI ADALAH PINTU GERBANG UTAMA DAN PERTAMA BAGI SESEORANG UNTUK MEMASUKI DUNIA KARANG-MENGARANG

MENGARANG BERARTI MENGUNGKAPKAN BUAH PIKIRAN KITA SECARA TERTULIS SESUNGGUHNYA HAL YANG SANGAT DIPERLUKAN OLEH SESEORANG JIKA INGIN MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN NALARNYA SEKALIGUS MEMBEBASKAN DIRINYA DARI JERAT BUDAYA HEDONISME YANG SERBA INSTAN / GAMPANGAN

UNTUK MENJADI SEORANG PENGARANG YANG SEKALIGUS SANG KREATOR DAN YANG KARYA-KARYANYA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG BUKANLAH SESUATU HAL YANG MUSTAHIL BAGI DIRI SETIAP ORANG SEPANJANG MAU BERTEKUN RIA DIHADAPAN KOMPUTER BERJAM-JAM UNTUK MENGUNGKAPKAN ISI HATINYA BAIK DALAM BENTUK PUISI, CERPEN, ARTIKEL DLLNYA

MENGARANG ITU PERLU KITA TRADISIKAN DALAM DIRI KITA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA NALAR DAN DAYA KRITIS KITA SEKALIGUS MENGUNGKAPKAN APA YANG KITA PIKIRKAN SECARA BENAR DAN DIMENGERTI OLEH ORANG LAIN

KARENA KINI SUDAH MENJADI RAHASIA UMUM BAHWA BANYAK DIANTARA KAUM MUDA KITA YANG GAMANG JIKA DI SURUH MENGARANG!
BAHKAN YANG LEBIH PARAH LAGI KEBIASAAN BERSMS-AN DENGAN GAYA BAHASA YANG TIDAK MNENGGUNAKAN KAIDAH BERBAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR AKAN SANGAT MEMPENGARHI PERKEMBANGAN INTLEKTUAL KITA

OLEH SEBAB ITU MARI KITA JADIKAN KEGIATAN MENGARANG ITU MENJADI AKTIVITAS RUTIN KESEHARIAN, DI MULAI DARI HAL SEDERHANA, MISALNYA MEMBUAT RESUME DARI BACAAN YANG KITA BACA, BUKU HARIAN, CATATAN KAKI, DLLNYA, KELAK SECARA TIDAK DISADARI TELAH MELATIH KEMAMPUAN INTELEKTUAL SESEORANG DAN SELURUH KEGIATAN DI DUNIA INI DI AWALI DENGAN TEKS/NASKAH, DAN MENGAPA KITA TIDAK SEGERA MEMPOSISIKAN DIRI SEBAGAI SANG KREATOR NASKAH/TEKS ITU SENDIRI?

YAKINLAH ANDA BAHWA MENGARANG ITU PERLU DAN MERUPAKAN JALAN TOL UNTUK MENGGENGGAM HARI DEPAN CEMERLANG!
SELAMAT MENGARANG




MARI JADI ORANG “SEDIKIT



“Orang kebanyakan” alias “massa” alias “publik” adalah sekelompok orang yang hidup di Era serba tombol sekarang ini telah secara sengaja diposisikan oleh para kapitalis sebagai pangsa pasar, masyarakat konsumtif, masyarakat hedonis, masyarakat instant, masyarakat yang siap menjadi pemuja berhala-berhala kontemporer: mulai dari tivi, computer, hp, mode pakaian, sampai tontonan band di stadion.dan ngeceng di Mall.

Masyarakat yang siap sedia 24 jam full time untuk dituntun menikmati kecanggihan tehnologi. Bagi mereka yang orang tuanya berpenghasilan cukup, memang bukan persoalan besar. Toh, niat orang tua pasti baik, atas nama kasih sayang, apa salahnya jika sejak kecil anak-anak mereka di kenalkan dengan mall, dengan makanan instant, dengan Playstasion, dan sebagainya. Berangkat remaja disiapkan sepeda motor, hp dan gaya hidup kota yang serba konsumtif.

Persoalan muncul, ketika si anak oleh tuntutan usia harus hidup “mandiri”, keluar dari tanggung jawab orang tua, masuk ke lingkungan social, menjadi “orang dewasa baru”

Jika sejak kecil terbiasa “terima ada”, terbiasa bertombol ria, mapan dengan budaya yang serba instant, dan amat minim untuk menggunakan akal pikirannya untuk survive, pastilah akan muncul kegamangan ketika yang bersangkutan tampil sebagai sosok individu di tengah masyarakat.


Kondisi ini kian disempurnakan oleh kebijakan sistim pendidikan nasional yang lebih memprioritaskan kewajiban Negara kepada kwantitas ketimbang kwalitas sehingga lumrah bagi sekolah untuk “membantu” anak didiknya lulus, karena akan menyangkut reputasi sekolah. Pola rekrutmen ketenaga kerjaan yang lebih berorientasi KKN, menjual ijazah dengan menomor satukan duit, bukan otak. Sehingga sampai hari ini, sungguhpun sudah ratusan ribu sarjana tehnik digelontorkan universitas di Indonesia sebagai Insinyur, namun jangankan untuk mobil, sepeda motor pun masih assembling, belum bisa bikin sendiri, Justru yang ada sekarang adalah : Era merajanya Kredit motor!
---0000---

Menulis surat sesungguhnya pernah menjadi menu utama kegiatan belajar mengajar anak sekolahan mulai SD sampai SMTA tempoe doeloe.. Namun seiring bergulirnya waktu, bergulirnya booming alat komunikasi canggih, mulai dari telpon, HP sampai internet, maka peran kantor pos sebagai mediator dan fasilitator surat pun meredup bahkan kini hanya menjadi sang minimalis sebagai tempat masyarakat miskin mengambil BLT.
Harus diakui bahwa hidup di era serba tombol ini membuat kita menjadi manja dan lebih suka mengambil posisi sebagai masyarakat penonton yang bersikap pasif. Gempuran kecanggihan tombol-tombol itu lebih kuasa menghabiskan 24 jam waktu kita untuk terpaku di pesawat tivi, ngeceng di mall, berhura-hura nonton band di stadion yang disponsori oleh perusahaan rokok, nyuruh kita jadi perokok!

Memang tidak ada yang mesti di tuding atas kondisi ini sepanjang anda memposisikan sebagai orang kebanyakan / massa. Toh urusan hidup seseorang sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing!

Beruntung bahwa tidak semua anak muda Indonesia larut oleh cekokan budaya konsumtif yang memabukkan itu, beberpa diantaranya mundur teratur, memilih menggunakan waktu yang ada untuk menjadi orang yang “sedikit”. Sungguhpun untuk pilihan itu, ia harus rela bersendiri di Perpustakaan, bercengkrama dengan Koran dan majalah dan buku-buku yang secara tidak disadarinya akan malatih dirinya untuk mengembangkan daya nalar dan kreativitasnya , keluar dari kungkungan budaya konsumtif, manarik diri dari keramaian guna mempersiapkan dirinya sebagai sang calon kreator!

Kata orang bijak, buku itu jendela dunia. Mengembangkan budaya membaca sejak dini niscaya akan membantu seseorang mengembangkan kemampuan nalar dan intelektualnya, sekaligus sebagai ciri/pembeda dengan mahluk lain di alam ini karena telah menggunakan kepalanya untuk berjalan dan hal itu bisa segera di mulai untuk mulai membiasakan baca teks dengan penuh konsentrasi!
Terdapat perbedaan mencolok antara posisi pembaca dengan penonton. Membaca bersifat privacy, aktif dan berkonsentrasi penuh mencerna teks hingga memahami isi yang terkandung dalam bacaan yang dibacanya. Sementara menonton bersifat umum, pasif dan hasil yang diperoleh terkadang cuma kekaguman belaka!



Semua berawal dari teks

Ketika beragam teks telah bermukim di kepala para penyendiri, ada tuntutan dari dalam dirinya untuk menumpahkan kembali hasil olah pikirnya itu kedalam bentuk teks asli karya dirinya sendiri yang isinya jelas mencerminkan sikap dirinya terhadap suatu masalah yang menurutnya perlu disikapi secara teks..

Mengungkapkan gagasan/ide/ilham/pemikiran yang ada dalam diri seseorang secara tertulis sehingga dimengerti oleh yang membacanya, sesungguhnya tidak serta merta! Butuh suatu proses latihan yang terus menerus, bermodalkan penguasaan bahasa, keliaran imajinasi, kemampuan konsentrasi dan ketekunan! Tanpa keempat hal tersebut di atas, rasanya seseorang akan sulit menjadi mahluk yang sedikit!

Mahluk kategori sedikit itu adalah kelompok mahluk pencipta/creator!
Dan membiasakan diri menuliskan apa yang ada dalam kepala/perasaan paling tidak bisa menjadi modal awal untuk menjadi orang yang sedikit itu. Pilihan untuk merintis karir kepengarangan, sesunguhnya pilihan taktis dan jitu sepanjang ditekuni dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Mengarang adalah keterampilan mengolah, merangkum, menyusun kata menjadi kalimat-kalimat yang membahas/menceritakan suatu topic yang sesungguhnya dirasakan oleh banyak orang namun kita yang mampu melukiskannya dalam teks!

Ke depan, keterampilan mengarang sesungguihnya tidak membutuhkan modal jutaan, cukup dengan kemampuan menguasai kata-kata, menyusunnya dengan benar sesuai dengan topic yang ingin kita bahas. Dan keterampilan ini sangat penting untuk menjawab tantangan zaman tentang kesulitan memperoleh pekerjaan, karena kita bisa mempekerjakan diri kita sendiri sebagai seorang pengarang!

Pembohong yang dipercaya

Sesungguhnya peradaban ini bisa dinikmati berkat peranan para pengarang! Karya-karya besar dunia yang sampai kini tetap menjadi konsumsi publik, seperti Romeo dan Yuliet dan ribuan karya lainnya takkan lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Harimau mati meningggalkan belang, manusia mati meninggalkan karya! Bahkan untuk bisa mendapatkan cerita Harry Potter terbaru, para pembacanya rela untuk bermalam di depan toko buku yang menjual karyanya itu!

Kisah kehebatan Majapahit dapat kita ketahui berkat Mpu Prapanca dengan Negara Keretagamanya.

Kisah Kedurjanaan Malin Kundang bisa kita peroleh berkat kehebatan pengarang yang terilhami oleh bentuk batu di pinggir laut!

Yaa….Harus diakui, Pengarang adalah pembohong yang dipercaya
Pengarang adalah Tokoh yang membuat teksnya menjadi film best seller dan seterusnya!

Retorika no, karya ok

“Massa penggembira” sebagai refleksi ketidaktrampilan menjadi orang sedikit terkadang dimanfaatkan oleh para sponsor rokok untuk menjual poduknya, politisi untuk beretorika menjual dirinya, hingga pengumpulan massa menjadi topic surat kabar untuk menaikkan oplahnya.

Kondisi ini bisa kita patahkan dengan kenekadan diri untuk bersikap kritis namun tidak dengan retorika sebaliknya dengan tulisan.

Republik ini hanya menjadi pasar konsumtif produsen dunia karena para pemimpinnya lebih senang beretorika ketimbang menyusun teks kebijakan cerdas yang membumi dan dapat dimplementasikan oleh semua anak bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari! Sialnya ini Cuma mimpi, karena sampai hari ini, belum ada satu karya besar anak bangsa ini yang mampu menerjemahkan Undang Undang Dasar 1945 dengan pas atas nama kesejahteraan Rakyat!

Maka ketimbang kita berdebat, lebih baik merenung, lebih pas menuangkan renungan kita itu dalam bentuk tulisan, entah itu fiksi maupun non fiksi.

Pembeda untuk kedua karya tulis itu Cuma satu: Non Fiksi berdasarkan data, fiksi berdasar imajinasi!

Jangan buru sebutan sastrawan
Para penulis karya-karya fiksi dalam berproses melahirkan karya-karyanya dan berhasil menjual karyanya itu ke media massa/penerbit, memiliki pola sikap sebagai berikut:
- Penyendiri/individualis
- Rendah hati, enggan disebut sastrawan
- Eksentrisitas kesenimannya khas
- Topik kontekstual
- Gaya ungkap cerita khas/unik
- Thema: keprihatinan terhadap Nasib orang kecil
- Moral cerita tidak menyinggung SARA dan etika

Sikap hidup untuk mengisi hari-hari yang terus bergulir dengan melakukan olah kata secara konsisten, konsen dan gembira sesungguhnya akan berdampak positif bagi seseorang di masa depannya. Karena Olah kata bersendikan imajinasi hasil perenungannya sebagai mahluk social tentang suatu topic yang menurut hematnya patut diketahui oleh masyarakat pembaca, akan memberi kepuasan batin bagi sang pencipta itu sendiri ketika karyanya itu dipublikasikan oleh media massa.

Namun jika yang diburu Cuma gelar/sebutan sastrawan! Pasti yang bersangkutan akan terjebak dan gigit jari pada akhirnya.

Sebutan Sastrawan diberikan oleh publik karena intensitasnya mempublkikasikan karya-karyanya, bukan tujuan!

Jangan jadi epigon
Semua keberhasilan yang diraih seseorang jelas tidak jatuh dari langit. Bisa dipastikan lewat suatu proses panjang yang terkadang menahun untuk bisa disebut menjadi.
Namun keunikan dunia tulis menulis adalah upaya perjuangan diri yang bersendiri menjalani proses itu.
Coba dan coba lagi, tak ada kata putus asa untuk mengirimkan karyanya itu ke media massa, adalah sikap pokok seorang calon penulis.
Pengarang sebagai cikal bakal sang pencipta peradaban. sesunguhnya tak ada sekolah khusus untuk itu. Yang ada adalah kemauan, kesungguhan untuk mengamati, mencatat, merenung, mengolah imaji, menuturkannya dalam teks, mengirimkannya ke redaksi.
Namun satu hal yang pasti, Sarat utama karya kita di muat oleh suatu media, jika karya kita itu dipandang redaktur UNIK/KHAS, LAIN DARI YANG LAIN, baik dari segi thema, gaya bahasa, dan endingnya! Dan inilah yang sering kali menjadi batu sandungan dari pemula: “KEUNIKAN”
Untuk memperoleh ciri tersebut, satu hal yang mesti dihindari adalah bahwa sejak dini anda harus bersikap untuk tidak ingin menjadi Epigon, jangan mau jiwa anda terkagum-kagum oleh seorang pengarang.
Jangan memulai menulis dari hasil membaca karya pengarang lain.
Namun bersiaplah menulis berdasarkan hasil pengamatan anda terhadap kehidupan lain di luar diri anda. Jadikan pengalaman orang lain sebagai pengalaman batin anda. Hal ini bisa anda peroleh berkat sikap anda dalam kehidupan social sebagai pendengar yang baik! Bukan sebaliknya sebagai Provokator!

Hindari nyontek: plagiator
Menyusun suatu cerita, dari posisi tiada menjadi ada adalah hal yang melatar belakangi kehebatan seorang penulis. Ide cerita bisa dan boleh kita ambil dari guntingan berita Koran, curhat tukang parkir dan sebagainya, namun ketika proses pencarian dan pengolahan data itu bermain di kepala kita untuk sampai pada satu titik: dituangkan dalam tulisan, maka jangan pernah berniat untuk nyontek / memplagiat dari karya penulis lain. Disamping sangat hina, resikonya jika ketahuan, anda ke depannya akan hancur karena dijuluki sebagai “sang plagiator”.

Anda mesti yakin, bahwa rambut sama hitam, yang beda Cuma satu: anda berhasil karena anda duluan makan garam dari saya! Hal inilah yang mesti anda camkan dalam diri masing-masing.

Satu hal yang mesti dipegang teguh adalah semboyan:“hakim yang paling adil adalah waktu itu sendiri. Jika anda emas sepuhan atau emas beneran, waktu yang akan menjawabnya.”

Kesimpulan: Mari Kita Berusaha Menjadi Orang Yang Sedikit, Dan Dunia Tulis Menulis Adalah Dunia Yang Pas Untuk Itu!

Selamat Berkarya (Sukamaju, 19 Juli 2008 )



KERJA PENULIS BUTUH TOTALITAS

I
Terima kasih Ya Allah, hari ini hambamu mohon izin untuk bicarakan diri sendiri atas limpahan anugrah kalam-Mu pada diri hamba dan mohon ampun jika nyanyi diri ini jadi air laut asin sendiri, Amien Ya Rob

Terima kasih Pemerintah Republik Indonesia, terutama Pimpinan dan segenap Staf Kantor Bahasa Propinsi Lampung, bil khusus Mas Danar dan Dimas Sunan yang telah memberi kesempatan kepada saya (untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya) tampil sebagai pembicara di blantika sastra Ruwa Jurai. Semoga hal ini akan bermanfaat bagi kalian semua.

II
Menulis Pertama kali pada 1974 ketika sebagai Ketua OSIS yang juga harus mengendalikan .Majalah Dinding SMA Negeri Telukbetung dengan nama samaran Dorenovlie. Tulisan Pertama kali dimuat pada Harian Pelita 20 Oktober 1978 yang berjudul “Nomor 289 untuk 5 menit” & Tulisan terakhir dimuat Lampung Post Minggu Edisi 9 Maret 2003 : Cerpen Berjudul: “ASTIGA”

Selama kurun waktu + 24 tahun 7 bulan 11 hari, saya telah menulis Cerita pendek, cerita anak, puisi, artikel budaya, resensi puisi, essei, bahkan berita (Selaku Wartawan SKM Swadesi-Jakarta 1982-1985) di Media Jakarta: Pelita, Sinar Harapan, Suara Karya, Merdeka, Berita Buana, Simponi, Swadesi, Detektif & Romantika, Senang, Humor, Nova,Harmonis, Bobo, Kawanku, Variasi. Dan Media Daerah: Lampung Post, Radar Lampung, Lampung Ekspres, Sumatra Post, Trans Sumatera, Waspada (Medan) Dengan menggunakan empat nama: A.M.Zulqornain Ch, Asroeddin MZ, dan Amzuch serta Asaroeddin Malik Zulqornain

III
Benar, bahwa seratusan cerpen, puluhan puisi, artikel budaya hingga berita pernah saya publikasikan, bahkan puisi “Selamat Pagi Pancasila” menjadi juara lomba cipta dan baca puisi yang diselenggarakanoleh BP7 Propinsi Lampung namun saya tetap yakin bahwa saya bukan siapa-siapa, tidak ada apa-apanya dan tak pernah jadi apapun.Saya hanya ingin jadi diri sendiri yang hidup hanya untuk menunda kekalahan, namun sebelum kekalahan itu datang, saya mesti menikmatinya dengan penuh rasa sukur. Bagi saya lebih baik miskin harta daripada miskin jiwa, itulah sebabnya saya lebih memilih tidak kenal dengan redaktur media manapun selama saya berkarir, sebab menurut hemat saya predikat “penulis” bukan sesuatu yang istimewa, karena yang dibutuhkan bukan orangnya tapi karyanya dan penghargaan yang diterimanya hendaknya berlangsung secara wajar, tak perlu cari muka atawa lobi sana sini apalagi sampai cetak buku sendiri. Pun saya sampai bisa menulis berkat kemauan keras dan kesungguhan hati, tiada teman, guru apalagi ilmu, Cuma modal nekad dan sampai hari ini saya tetap abadi menggenggam sepi, mungkin sampai mati! Benar saya punya teman, kenalan atau apapun namanya yang mengundang dan melibatkan saya dalam kegiatan seni di Bandarlampung, sialnya saya Cuma diposisikan sebagai pelengkap penderita, bicara yang bagus-bagus, beri dukungan dan Cuma sebatas itu, tak seorang pun yang coba mengenal karya-karya saya, semua sekedar basa basi, maka pada ketika seorang Sunan bertandang ke rumah dan mengutarakan niatnya untuk mendokumentasikan tulisan-tulisan saya, saya Cuma bisa berkata: Terima kasih Ya Allah!

Produktifitas saya berkembang pada Dekade delapan puluhan dan bersama Dimas Sunan, saya membongkar bundel kliping Koran yang tersimpan dalam almari kayu yang mulai lapuk, tempat seluruh karya saya yang memang belum pernah dibukukan, masih terdokumentasi dalam ordner yang mulai dimakan rayap.

Saya memang pernah100% hidup dari menulis. Sayang hal ini tak dapat saya lanjutkan, bukan karena minimnya penghargaan yang diterima, namun semata-mata karena keterbatasan daya tahan tubuh dan jiwa saya, karena profesi menyulap ketiadaan menjadi ada ini butuh totalitas, kerja keras dan kesungguhan hati, kita bahkan harus terjun langsung menjadi kuli karung jika ingin memperoleh pengalaman batin sebagai seorang kuli!

Sekarang saya hanya menulis ihwal kelampungan, mulai dari Puisi yang langsung saya bacakan pada acara antara lain: Lampung Art Festival (DKL), Panggung Penyair, dan Pertemuan 2 Arus (Jung Foundation), artikel yang di muat di media local, antara lain berjudul : Festival Kesenian Lampung untuk Siapa?/ Melampungkan kelampungan ulun lampung / Kesenian Lampung Sudah waktunya bangkit/. Disertai harapan agar slogan Lampung sebagai Indonesia mini bukan jalan tol untuk menghancurkan warisan budaya leluhur kami.
Kerja keras saya sepertinya nyambung, Terbukti kini issu kelampungan sudah ngetrend dikalangan pekerja dan institusi seni mulai dari DKL sampai Pemerintah Daerah dan bahkan tanpa sungkan untuk menjadikannya sebagai program kerja, sebagai proyek untuk ngisi kocek! Maka saya pun bersiap untuk goodbye pada kelampungan,

IV
Di penghujung usia (seandainya saya kembali menggeluti dunia penulisan) insyaallah saya akan membesarkan jati diri keindonesiaan dalam karya-karya saya. Sebab tampang asli sastra Indonesia mutakhir masih berkutat dengan hanya sebatas penggunaan bahasa Indonesia, roh primordialisme dan hedonisme amat sangat menguasasi jagat sastra Indonesia, akan jadi apa Indonesia jika makna sumpah pemuda Cuma sebatas berbahasa satu bahasa Indonesia, namun implementasinya dalam khidupan keseharian kita tetap berpegang teguh pada dogma: :saya orang jawa, saya orang bugis, orang maluku dan sebagainya. Padahal sudah waktunya jika kita dengan lantang berteriak: SAYA ANAK INDONESIA! Bahasa Indonesia seyogyanya tak hanya berperan sebagai alat komunikasi verbal antar sesama anak bangsa, justru idealnya sebagai refleksi jati diri bangsanya, sehingga perkembangan primordialisme yang bermakna sempit yang bermuara pada kehancuran NKRI dapat sejak dini kita eliminasi dari dalam diri setiap anak bangsa!

V
Blantika sastra Bandarlampung khususnya dan Lampung pada umumnya di dekade awal abad 21 ini sungguh sangat menggembirakan. Hampir setiap waktu bermunculan penulis baru yang rata rata berbasis perguruan tinggi dan menghasilkan karya sastra beragam, dipublikasikan diberbagai media baik lokal maupun nasional dan dilanjutkan dengan munculnya berbagai komunitas sastra, (tempat mangkal para pekerja sastra), satu hal yang belum pernah saya alami dimasa awal kepenulisan saya.

Geliat dan gerak kiprah para sastrawan muda ini paling tidak akan menjadi ajang promosi bagi Bandarlampung di khasanah blantika sastra nasional.

Satu hal yang sepatutnya menjadi pegangan bagi kita selaku sastrawan, hendaknya ditumbuh kembangkan kehangatan spriritual antar sesama dan bukan sebaliknya mempertajam konflik, intrik, sirik, apalagi munafik! karena dunia seni sesungguhnya adalah dunia yang memungkinkan seseorang menjalani lakunya dengan penuh rasa sukur, rasa sayang dan mengutamakan harmoni antar sesama. Seniman sejati adalah orang yang mampu memainkan melodi dan tarian kehidupan penuh kebebasan dengan dibatasi kebebasan yang lainnya! Mari kita saling membebaskan diri kita masing-masing dari gempuran hedonisme yang Cuma membuat orang Indonesia sebagai masyarakat konsumtif dan sekedar pasar dari para produsen budaya mancanegara! (Bandarlampung, 10 Juli 2005)



SELAMAT ULANG TAHUN BANDARLAMPUNGKU SAYANG


Jika Lampung dijuluki warga nusantara sebagai gerbang Sumatera, maka persis di jantungnya terhampar kawasan bertanjung perbukitan hijau, berpantai pada ceruk teluk laut penuh plankton yang bila malam tiba seolah bintang gemintang turun dari langit malam, menaburi kawasan teluk bagai kunang-kunang...itulah geliat para pencalang laut sejati yang tengah asik memperdaya ikan-ikan dengan menebar jala, mata kail, lampu petromak dan doa-doa. Sebagai pencalang laut sejati, di laut mereka berjaya tapi di darat mereka senantiasa diperdaya oleh para tengkulak. Sungguhpun demikian, mereka tetap setia menarikan tarian hidupnya sebagai kunang-kunang Teluk Lampung!
Lalu di jelang pagi manis bangkit dari baringnya nun dari balik perbukitan hijau yang menelikung kota: Sukadana Ham, Umbul Kunci, Jatimulyo, Kemiling, Sakal dan Sukarame akan muncul beratus pasang kaki telanjang menerabas jalan setapak yang masih berembun dengan menating pelita bambu sambil punggung menggendong atawa bahu memikul hasil kebun dan ladang masing-masing. Kelak di pasar-pasar tradisional para petani dan pencalang itu akan bersinergi menyuapi warga se kota (yang masih lelap di buai mimpi). Sunguh suatu kota yang menjanjikan berjuta pesona!
Tempo hari kawasan ini berjuluk ‘Si Kota Kembar: Tante’ (Tanjungkarang-Telukbetung), seiring berjalannya waktu dan masuknya kawasan Panjang, Natar, Kemiling, Way Kandis dan Natar, berganti julukan sebagai si Tapis Berseri: Bandarlampung.
Sebagai Bandar, Kotaku ini sepatutnya memiliki nilai lebih dibanding wilayah lain di Lampung ini, ditambah lagi dengan idealnya topografi, melimpah ruahnya potensi kelautan dan perkebunan disertai keramahan warganya yang suka bekerja keras, namun sampai kini belum lagi dikembang dan berkembang secara maksimal. Hal ini dibuktikan dengan kehidupan kaum petani dan nelayan yang masih marjinal. Bandarlampung di jantung gerbang Sumatera masih mencari jati dirinya!

Jika Yogya dikenal sebagai Kota Pelajar, Palembang:Kota mpek-mpek, Bandung : Paris Van Java.Surabaya : Kota Perjuangan, Bali : Kota Turis, Bandarlampung? Kota Tapis berseri. Lantas apa itu Tapis Berseri? Jangankan orang luar daerah, warga kota pun akan tersipu malu, sebab kotaku belum lagi bersih, sehat, ramah dan indah. Padahal sebagai Ibukota Propinsi diusianya yang sudah sekian ratus tahun, adalah hal yang amat sangat wajar jika memiliki identitas khas dan unik yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain di dunia ini atau paling minimal : memilkiki spesifik sebagai kotanya orang Lampung. Hal ini sesungguhnya tak terlampau sulit untuk diimplementasikan sebagai realitas budaya sepanjang para birokrat, politikus, cendikiawan, pengusaha dan budayawannya saling bersinergi membangun kotanya dengan aura kelampungan! Apa itu kelampungan? Paling minim adalah bila warga kota menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan. Sebab jika Warga Bandarlampung bisa melampungkan kelampungannya dengan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa gaul antar sesama, paling tidak satu langkah spesifik sebagai Bandarnya orang Lampung telah terpenuhi. Hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin, sebab komunitas warga Lampung yang menggunakan bahasa Lampung masih bisa kita jumpai di berbagai sudut kota, antara lain: Gedongpakuon, Kuripan, Olokgading, Pengajaran, Kedamaian, Kedaton, Tarahan dan sebagainya. Kendala Utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung di warga kota adalah keengganan warga untuk belajar bahasa Lampung. Jika ditanya, dengan mudah mereka menyalahkan orang lain: Orang Lampung sendiri idak mau berbahasa Lampung! Kilah mereka ringan. Haruskah kita untuk belajar bahasa Inggris dengan mendatangkan orang Inggris?
Langkah berikut yang tidak kalah penting, adalah menata pantai Teluk Lampung mulai dari Tarahan sampai Lempasing sebagai kawasan rekreasi yang amat sangat menjanjikan. Terkesan selama ini jika potensi yang demikian besar dari aspek apapun itu terabaikan. Mestinya Bandarlampung memiliki masterplan terpadu pengembangan Pantai Teluk Lampung yang dikelola secara sistimatis dan sinergis dengan Pemda sebagai inisiatornya (seperti halnya kawasan Ancol Jakarta). Sebab yang ada selama ini adalah sepenuhnya diserahkan ke pihak swasta mulai dari Tarahan sampai Lempasing.Dan hasilnya? Amat sangat sederhana: pasang penghalang di pintu masuk, di pantai di beri gubuk-gubuk seadanya selesai! Padahal jika Kawasan menjanjikan ini dikelola secara komprehensip, bekerjasama dengan investor, maka bukan hal yang mustahil jika Pariwisata Laut Teluk Lampung akan berkembang dengan maksimal yang pada gilirannya akan membuka lapangan kerja, meningkatnya image tentang Lampung yang positif dan meningkatnya PAD. Pada dua dasawarsa lalu memang ada inisiatif dari Walikota Zulkarnain Subing untuk mereklamasi kawasan Kunyit sampai Lempasing yang dikerjakan oleh PT BBS, sayangnya proyek itu terhenti di tengah jalan seiring dengan berakhirnya tugas beliau sebagai Walikota. Padahal jika program reklamasi Teluk Lampung dilanjutkan, kawasan wisata Bandarlampung yang representatif sudah bisa kita miliki dan nikmati, sayang...
Bandarlampung sebagai jantung Propinsi, seyogyanya berperan sebagai puisat kegiatan, panutan seluruh kabupaten/kota, barometer segenap potensi masyarakat, pusat informasi budaya, politik, ekonomi dan bisnis. Pusat rekreasi pantai, rekreasi pegunungan, tempat turis mancanegara memperoleh gambaran yang benar tentang Lampung sudah sepatutnya dipikirkan tidak hanya oleh Pemerintah Kota, tapi juga oleh segenap Warga Kota!
Selamat ulang Tahun Bandarlampungku sayang!

Rabu, 19 November 2008

KOLAM PUISI

ADA MAKANAN DI GERBANG SUMETERA

Kata orang senusantara kita ini adalah pintu gerbang sumatera
Sebagai gerbang, kita tak punya apa apa kecuali
Kopi, keripik dan sambel
Buah tangan pembuka pintu rumah masing-masing sepulang melewati pintu gerbang
Padahal kita punya kaganga dan bahasa
Sayangnya Cuma bergema di kertas ulangan muatan lokal sebagai penambah nilai rapor
Tidak di pasar, mall, apalagi di kantoran
Kita punya tari sembah yang ditampilkan saat menyambut pejabat
Kita juga punya tapis itupun dipakai saat cakak pepadun
Kita juga punya dadi, pisaan dan ringget yang Cuma bersenandung di studio RRI
Orang senusantara Cuma kenal kita sebagai si kopi, sebagai si keripik, dan si sambel
Wajar jika di tivi tak ada dialek Lampung-Indonesia
Wajar jika para pejabatmya menyatakan dengan bangga bahwa kita sebagai salah satu propinsi miskin di nusantara
kita Cuma dikenal sebagai si makanan,
Bukan sebagai orang

Sebagai makanan tugas kita memang untuk di makan
Tugas kita hanya cari makan sebelum dimakan
Tidak perlu berpikir untuk sebuah kebanggan
Sebagai orang Lampung!
Salah satu Mozaik di Nusantara ini beringsut untuk menjadi makanan orang se nusantara
Maukah kita?
Tentu saja Tidak






“CATATAN KAKI SEORANG ZULQORNAIN UNTUK PANGGUNG PENYAIR INDONESIA”




BERANGKAT DARI KETRAMPILAN MERANGKAI KATA MENJADI KALIMAT BERMAKNA KESAKSIAN SEORANG ANAK ADAM DALAM MENGGELUTI TARIAN KEHIDUPAN YANG DIJALANINYA BERSAMA MATAHARI DAN BULAN YANG MEMAYUNGINYA, MAKA JADILAH SEPENGGAL PUISI
SAMPAI DISINI TUGAS SEORANG PENYAIR!

KETIKA BATU PUISI DIILONTARKANNYA KEMEDIA AGAR KARYANYA DIBACA PUBLIK SEKETIKA PUISI ITU MENJADI MILIK PUBLIK
KESAKSIAN SANG PENYAIR TIDAK LAGI BERMAKNA TUNGGGAL, SEPENUHNYA TERGANTUNG DARI KEMAMPUAN DAN KEMAUAN SANG PEMBACA DALAM MENYIMAK KARYA SANG PENYAIR

AGAR BATU PUISI YANG DICIPTANYA MAMPU BIKIN BENJOL PERASAAN SANG PEMBACA, JELAS DIBUTUHKAN PIHAK KETIGA UNTUK MEMBERI MAKNA DAN MEMBERI NYAWA PADA BATU ITU, DISINILAH PERAN PARA DEKLAMATOR DAN DEKLAMATRIS PUISI, SEBAB MEREKALAH YANG MENGKOMUNIKASIKAN KEPADA KHALAYAK PEMBACA BAHWA BATU ITU BERMAKNA!

3
KETIKA SEORANG EDI DENGAN LDL-NYA EKSIS, KONSIS DAN KONFIDEN DITENGAH GEMPURAN BUDAYA INSTAN DAN MALL UNTUK MENIMPUKI PUBLIK BANDARLAMPUNG DENGAN BATU-BATU PUISI , SAYA BANGGA, BERSUKUR DAN SALUUT ATAS KERJA KERASNYA YANG MELAHIRKAN PARA DEKLAMATOR/DEKLAMATRIS HANDAL SEKALIGUS MEYAKINKAN KITA BAHWA DUNIA SASTRA BANDARLAMPUNG AKAN TERUS BERKUMANDANG SAMPAI KAPANPUN

TRADISI LOMBA & BACA PUISI YANG DIKEMBANGKAN EDI BERSAMA LDLNYA TIDAK HANYA BERKUTAT DI HABITAT SENI, TAPI JUGA MERAMBAH SAMPAI KE GEDUNG DPRD
TERIMA KASIH, BUNG EDI & LDL

BAGAIMANAPUN, SANG PENYAIR HARUS BERTERIMA KASIH KEPADA PARA DEKLAMATOR/DEKLAMATRIS, SEBAB MEREKALAH YANG MEMBERI NYAWA THDP KARYA TEKS SANG PENYAIR
SEBAB KETIKA BATU DIPENTASKAN, BATU ITU HRS DIKEMAS-DISAJIKAN DENGAN ATURAN SUATU PAGELARAN,
UNTUK KE DEPAN, MARI KITA TINGGGALKAN TRADISI BACA PUISI SEKEDARNYA YANG HANYA MEMBUAT ACARA BACA PUISI MENJADI ONANI
PENYAIR DAN DEKLAMATOR IBARAT KOMPONIS DAN BIDUAN DAN LDL ADALAH DIRIGENNYA

UNTUK KE DEPAN HENDAKNYA LDL DPT MEMBERI TEMPAT TERHADAP SASTRA LISAN LAMPUNG: PISAAN, BUBANDUNG, CANGGET, WARAHAN MAUPUN WAWANCAN, YANG KINI TAMPIL DI BANDARLAMPUNG CUMA LEWAT MEDIA AUDIO RRI TANJUNGKARANG DAN CUMA SEKALI YANG TAMPIL SECARA VISUAL DALAM PERTEMUAN 2 ARUSNYA JUNG FOUNDATION
PADAHAL SASTRA LAMPUNG TUMBUH SUBUR DAN BERKEMBANG PESAT DISEANTERO BUMI LADO NAMUN MENJADI ASING JUSTRU KETIKA MASUK IBUKOTANYA LAMPUNG: BANDARLAMPUNG YANG KINI SUDAH BERUSIA 323 TAHUN


ANDAI LDL MAMPU MENGEMAS SASTRA LAMPUNG DENGAN PENATAAN PENTAS YANG MAKSIMAL, SAYA YAKIN LDL AKAN MENJADI DUTA SASTRA LAMPUNG YANG MELANGLANG KE MANCA NEGARA, KARENA WARISAN BUDAYA KITA UNIK DAN SPESIFIK, SUDAH WAKTUNYA MANCANEGARA TIDAK HANYA MENGENAL TARI LAMPUNG TAPI JUGA SASTRA LAMPUNG, PUAKHI!

SAYA BERHARAP BANYAK TERHADAP PANGGUNG PENYAIR INDONESIA YANG KITA GELAR INI TIDAK CUMA SEKEDAR AJANG PENTAS PARA PENYAIR TAPI JUGA MUNCULNYA SILATURAHIM YANG TULUS ANTAR SESAMA SENIMAN UNTUK MEMPERKUAT KEINDONESIAAN KITA,
TERIMA KASIH!


PUISI-PUISI

CATATAN PAGI SEORANG PENGANGGUR

Mega putih dilingkung mendung
Mendinikan gigil berkepanjangan
Mentari memucat, sinarnya jatuh di punggung bukit
Pada Mega putih terpampang lukisan abstrak tentang aku
Yang tak pernah jadi aku
Kulesatkan cakra menghujam dada mentari
Pucatnya hilang merahnya kini ganti menerjang
Menelanjangi wajahku yang selalu bertopeng
Mega putih tegar menantang awan
Dalam tegarnya berkabar duka
yang tak pernah selesai
(Telukbetung, 1979)


DIRGAHAYU INDONESIA

65 TAHUN SUDAH KITA HIDUP DI ALAM KEMERDEKAAN
BEBAS DARI BELENGGU SANG PENJAJAH
BEBAS DARI KEKEJAMAN SANG TIRAN
BERKAT DARAH DAN AIR MATA PARA PAHLAWAN
YANG RELA KORBANKAN HARTA DAN NYAWANYA
DAN KINI REBAH BERKALANG TANAH DIHARIBAAN
IBU PERTIWI

TERIMA KASIH PAHLAWAN
KAMI KAN TERUSKAN JEJAK JUANGMU
UNTUK MEMERDEKAKAN DIRI KAMI SENDIRI
DARI BELENGGU KEMISKINAN
DARI JARAHAN KEBODOHAN

ULURKAN TANGANMU HAI ORANG MUDA
MARI BERSAMA SATUKAN DERAP LANGKAH KITA
MENUJU HARI DEPAN CEMERLANG
DENGAN KERJA KERAS
DENGAN KEMAUAN BAJA
AGAR KELAK KITA DAPAT TUMBUH BERSAMA
SEBAGAI ANAK BANGSA YANG DIGJAYA

DIRGAHAYU INDONESIA
TERIMA KASIH IBU PERTIWI
AMANKAN TEKAD KAMI
AMINKAN BAKTIKU!

(KEDAUNG, 03 AGUSTUS 2005)







LEBANON
Oleh Asaroeddin Malik Zulqornain

Semua telah basah berkubang dendam
Saling jual tikam digenangan doa
Demi atas nama kebebasan yang gaib
Pinta purba tanpa zaitun di tangan

Air mata hilang muara
Kata hati adalah picu senjata
Berbagi lara lebih dipandang mulia
Demi atas nama kepongahan yang membara
Lebanon......, requiem yang papa
Disana ada dongeng canggih tentang
Manusia yang tetap purba

Darah, air mata.,porak poranda
Adalah kata kunci yang sakti
Untuk sepotong kebebasan yang gaib
Sia sia dosa di jaja
Sia Sia Doa di taja
Dia yang Maha Rebah Membumi
Menggumpal di laras picu
Siaga berbagi duka
Sesamanya
(2006)


“SILATURAHIM”

SILATURAHIM ADALAH KEMAH IMAN
TEMPAT PARA MUSAFIR
DATANG MELETAKKAN TEROMPAHNYA
DUDUK BERKELILING
MELEPAS KESENDIRIAN DAN SEPI
SAMBIL MEREGUK ZAMZAM PERSAHABATAN
YANG SALING ASIH
ASAH
DAN ASUH……..


SILATURAHIM ADALAH PADANG TERBENTANG
TIADA JARAK
TIADA PERBATASAN
DIMANA AKU BUKAN AKU
KAU BUKAN KAU
TAPI KAU DAN AKU ADALAH KITA
YANG SEOLAH TERCIPTA
DARI RAHIM IBU YANG SATU

SILATURAHIM ADALAH JEMBATAN
MEMBANGUN HARI DEPAN
DALAM GAPURA MAGHFIRAH
BERGELIMANG DIAN KEARIFAN
DALAM JIWA SETIAP INSAN
“ROHMATAN LIL ALAMIN”

Kedaung, 13 september 2005











MARHABAN YA RAMADHAN

MARHABAN YA RAMADHAN
DI BAWAH MATAHARI KITA TITI LAKU DIRI
TANPA ERANG DAN TIFA BIRAHI
BERSAMA MATAHARI KITA ARUNGI
MEDAN HARI BERSELENDANG SHAUM
MUNAJAH KAMI PADAMU YA ROB


MARHABAN YA RAMADHAN
MARHABAN YA ROBBUL JALIL
SAAT FITRAH IMAN INSANI
DIUJI DAN DIPUGAR
DALAM GELINJANG TARAWIH BERGELIMANG TADARUS & TAHAJJUD
DITINGKAH GEMA ZIKIR BERTABUR TAKBIR
UPETI KAMI PADAMU YA ROB

MARHABAN YA RAMADHAN
MARHABAN YA ROBBUL JALIL
JADIKAN KEFANAAN KAMI BERMANDIKAN SABAR
DAHAGA KAMI BERMAHKOTA KEIKHLASAN
ISRO’ KAMI BERGELIMANG KERIDHOAN-MU
MIKRAJ KAMI MEMUJA KE-ESA-ANMU
MENITI GAUNG GAIB FIRMAN-FIRMANMU
TERIMALAH SHAUM KAMI YA ROB

(KEDAUNG, 23 SEPTEMBER 2005)


KETIKA JUKUNG BERGANTI NAKHODA

KETIKA JUKUNG “TUT WURI HANDAYANI”
YANG TIANG LAYARNYA BERKIBAR PANJI-PANJI: CERDASKAN BANGSA - BEBASKAN ANAK NEGRI DARI BELENGGU KEBODOHAN
BERGANTI NAKHODA DI HARI VALENTINE
ADA GELINJANG ASA DAN UNTAIAN KENANG
MENGHARU BIRU LAUT JIWA KAMI…

SELAMAT JALAN BAPAK ARMANSYAH SINGAGERDA
TUNAI SUDAH TUGAS BAPAK MENAKHODAI KAMI
TERIMA KASIH UNTUK SEMUA TUAH, TUNTUN DAN TULUS BAPAK KETIKA MEMANDU KAMI
MAAFKAN SEGALA KHILAP DAN ALPA KAMI
MOGA DI JUKUNG YANG BARU KELAK, BAPAK KAN DAPATKAN BERKAH DAN HIDAYAH-NYA, AMIEN

SELAMAT DATANG BAPAK HERMANSYAH MURP
KAMI YAKIN, SELAKU SANG NAKHODA BARU YANG BERSELEMPANGKAN SEMANGAT:
“DEMI-MU LAMPUNGKU PADAMU BAKTIKU”
TENTU AKAN MENGEMUDIKAN JUKUNG INI DENGAN NUANSA ASIH, ASAH DAN ASUH
MEMANDU KAMI
MELAYANI PARA PAHLAWAN TANPA TANDA JASA DAN ANAK DIDIK RUWA JURAI MELINTASI SAMUDERA BIROKRASI YANG PENUH ONAK DAN DURI,
DENGAN SELAMAT SEJAHTERA
DEMI MERAIH KEBANGKITAN LAMPUNG DI HARI DEPAN
DEMI MENGGAPAI CITA HARI DEPAN LAMPUNG NAN GEMILANG!



SELAMAT PAGI PANCASILA

Burung garuda di Khatulistiwa terbang
Membela langit dengan setia
Perisai di dadanya, membuat Garuda kian perkasa
Dan berwibawa

Perisai pada dadanya meyakinkan garuda
Bahwa takkan ada burung lain yang sanggup
Menggantikan tempatnya
Mengawal Khatulistiwa

Telah begitu sering badai dan topan dating melanda
Telah bertubi tubi petir dan halilintar dating menggelegar Menemaramkan lagit persada

Dengan mata menyala
Sayap dikembangkan paruh dikuakkan dan dada dibusungkan
Garuda maju dengan garang, meranggas mengcengkram menerjang
Dan Garuda selalu keluar sebagai pemenang

Panji panji pada dadanya
Terlampau sakti untuk dikangkangi
Panji panji pada dadanya
Bersepuh darah dan air mata digali
Dari belantara zamrut Khatulistiwa
Panji panji pada dadanya berurat berakar di tubuh persada

Selamat Pagi Pancasila
Dada Garuda adalah rumahmu
Adalah rumahku
Adalah rumah kita
Tempat sekalian sungai kehidupan bermuara
Tem[pat sekalian bulan kehijauan bersarang
Tempat seluruh putra bangsa membenamkan wajahnya dalam-dalam
Kau adalah potret cita setiap anak adam

Selamat Pagi Pancasila
Hakimi aku dalam gita sukmamu
Waduhkan hari hari lalu dengan senyuman
Satukan aku dalam mega saktimu
Diamkan medan waktu yang rancu

Selamat Pagi Pancasila
Aminkan imanku
Amankan Baktiku

Selamat Pagi Pancasila
Makmurkan adilmu
Adilkan Makmurmu

Selamat, selamat Pagi Pancasila
Wajahku kini sanggup menatapmu dengan senyuman
Dan
Garuda Khatulistiwa menatapku
Penuh persahabatan

Bandarlampung, 1985


ULURKAN TANGANMU ORANG MUDA

Cakrawala sibuk dibenahi, kini
Tangan-tangan cekatan, putra putra bangsa
Merubah mimpi jadi kenyataan
Membuat tidur tak nyenyak lagi

Ada yang terlupa dan dilupakan
“Mistri terciptamnya Borobudur dulu”
Ada yang tercemar dan dicemarkan
“Hijaunya gunung, birunya laut”
Ada yang terjatuh dan dijatuhkan
“Kharisma kita si orang muda”

Bangkit, Bangkitlah Hai Orang muda
Sematkan citra borobudur di dadamu
Temukan pernik pernik yang hilang

Bangkit-bangkitlah hai orang muda
Rekatkan citra kehijauan dalam wajahmu
Tembangkan nyanyian alam

Bangkit bangkitlah hai orang muda
Nyalakan citra dua lapan di setiap langkahmu
Jadikan suluh penerang

Ulurkan tanganmu hai orang muda
Pada borobudurmu
Pada hijaumu
Pada sumpahmu

Peranmu makin menulang, kencanmu kian dibutuhkan dipersada ini
Hijau hijaulah bulan
Luruhkan kalbu duka ini keharibaan bumi ibu

Telukbetung, 1980