TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA TABIK PUN PUAKHI SIKAM HAGA TUNGGA

Senin, 22 Desember 2008

ANJUNGAN KLIPING CERNAK





























Senin, 2008 Desember 22
TEKS CERITA ANAK

“SI PENGGIGIT SENDOK
BERKELERENG


Rumah Mewah Tuan Sampot pagi itu kedatangan seorang peminta-minta, Pak Mandok namanya. Sang Hartawan yang sangat terkenal kekikirannya di seantero kota, sungguh sangat tidak senang dan merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tua berpakaian compang camping itu. Dia lantas mencari akal bagaimana caranya mengusir Mandok namun dengan tidak kehilangan muka.
Lalu sejurus kemudian sambil berkacak pinggang, dia berkata, “Dengar, Hai Pengemis tua, jika engkau sanggup untuk berkeliling kota ini dengan mulut menggigit sendok berkelereng tanpa jatuh sekali pun juga, mulai saat ini hingga sore nanti, engkau akan ku beri hadiah yang ku jamin tak bakal habis di makan satu tahun oleh diri dan keluargamu. Bagaimana, apakah kau bersedia?”
Pak Mandok kelihatan berpikir sejenak dan Sang Hartawan sudah bias memastikan jika Pengemis Tua ini takkan sanggup untuk memenuhi permintaannya yang tak masuk akal ini, tapi jawaban yang keluar dari mulut Pengmis Tua itu sungguh di luar dugaan,
“Hamba bersedia untuk melakukannya, Tuan?!”
“Benar, He..?
Pak Mandok mengenggukkan kepalanya.
Tak ayal lagi, hartawan Sampot langsung mentumpal mulut Pak Mandok dengan sebuah sendok yang di atasnya di letakkan se butir kelereng,. “Nah…Mulailah kau melangkah dan iangat jangan sampai jatuh!” Perintahnya sambil menepuk pundak Mandok disertai seulas senyum licik mengembang di sudut bibirnya, “Dasar orang tolol” Umpatnya kemudian dalam hati
Sampot dengan ekor matanya melepas keperguian sang pengemis tua dengan perasaan geli sampai tubuhMandok mengilang dari balik pintu gerbang rumahnya.
Sepanjang jalan yang di lalui Pak Mandok tentu saja mengundang perhatian orang banyak, karena Mandok berjalan dengan agak membungkuk, perlahan-lahan namun dengan kepala tegak dan pandang mata terpusat pada sendok berkelereng yang tergantung di mulutnya. Pak Mandok melakukan pekerjaan ini dengan kesungguhan hati. Sama sekali tak terpikir olehnya untuk berbuat curang sungguhpun pekerjaan yang dilakukannya ini teramat berat sementara Juragan Sampot pun tak mengawasi karena memang akal-akalan sang juragan untuk tidak kehilangan muka dan sekedar untuk menutupi kekikirannya saja!
Anak-anak kecil tentu saja menertawakan perbuatan Mandok. Mereka menguntit dari belakang seperti sedang. bermain ular-ularan. Tapi banyak juga orang yang berpapasan dengannya merasa iba terutama ibu-ibu dan tanpa sungkan untuk mendermakan sekeping dua uang logam ke saku Mandok, sehingga lama kelamaan sakunya penuh juga dengan uang sumbangan pemberian para dermawan!
Sorenya, setelah menyerahkan uang hasil sedekah kepada anak istrinya yang tengah menahan lapar, Mandok kembali ke rumah sang Hartawan dengan muluttetap menggigit sendok berkelereng.
Sialnya, pintu gerbang terkuci. Mandokberulang kali menggedor, pintu gerbang tetap bergeming. Agajkbnya Hartawan Sampot enggan membukakan pintu gerbang dan ia memperhatikan semua ini dari lantai dua rumahnya dengan bersungut-sungut.
“Uh..ternyata orang tua gila itu tetap melakukan pekerjaannya!” Gumamnya dalam hati, “Biar…hendak ku lihat sampai di mana ketabahannya!” desisnya kemudian sambil turun ke lantai dasar, pergi mendekati kandang anjing…pintu kandang di buka dan sejurus kemudian lima ekor anjing herder yang taringnya kuat dan berliur langsung menyerbu Mandok. Lewat celah pagar besi, ke lima herder itu menyalak kuat-kuat sambil mempertontonkan ketajaman taring masing-masing,
Mandok kembali tetap bergeming, karena ia sadar, jika Hartawan Sampot sedang berupaya mencari akal untuk menggagalkan kerja kerasnya seharian agar terbebas dari janji untuk memberi hadiah kepada dirinya. anjing anjing herder itu itu pada akhirnya kehabisan napas setelah dua jam terus menerus menyalak, balik ke kandang masing-masing dengan langkah lunglai, keletihan.
“Orang ini benar-benar kepala batu!” umpatnya setelah mengetahui akal liciknya menemui kegagalan, “Hendak kulihat apakah ia sanggup untuk bertahan dengan dinginnya malam sampai besok pagi?!” gumamnya sambil masuk ke dalam dengan menutup daun pintu rumahnya rapat-rapat.
Malam kian larut, embun mulai turun dan udara kian dingin, namun semua itu tak mampu menggoyahkan ketabahan dan semangat Mandok untuk tetap bertahan dengan mulut menggigit sendok berkelereng sungguhpun lidahnya mulai terasa kelu, sekujur tubuh dan kedua kakinya gemetaran menahan gigil yang menggigit belulangnya dan kedua bola matanya yang kian berat menahan kantuk yang menyerang..!
Tiiba-tiba entah dari mana datangnya, dihadapan Mandok kini muncul sosok lelaki tua berjanggut putih, berbadan agak membungkuk dengan sebatang tongkat menopang tubuhnya yang dibungkus jubah putih lalu menyapanya, “Hai Mandok aku kasihan padamu, bagaimana kalau aku saja yang menggantikan tugasmu barang satu jam toh tuan Sampot takkan mengetahui perbuatan kita, bukankah saat ini dia sudah tidur?”
Mendengar tawaran ini, Mandok cuma mengangkat kedua tangannya menyatakan tidak.
Orang tua itu tak putus asa, kali ini ia mengeluarkan seikat uang dari dalam sakunya, “Sekarang begini saja, kau kuberi se ikat uang ini, asal saja kau mau membuang sendok itu, percayalah padaku jika jumlah uang ini akan jauh lebih banyak dari pada yang bakal kau peroleh dari tuanmu itu”
Kembali Mandok dengan mantap melambaikan kedua tangannya menyatakan tidak!
“Hahahaha……bagus,bagus…ternyata kau memang orang yang punya ketekunan, kesabaran, kesetiaan dan kejujuran yang luar biasa. Aku memujimu dan salut atas ketabahanmu!”
Sejurus kemudian, “Bluummmm………” Asap berwarna warni menyelimuti tubuh bungkuk itu membuat Mandok terheran-heran…Dan dihadapannya kini bukan lagi seorang tua bungkuk seperti yang dilihatnya tadi tapi sudah menjelma sebagai sosok peri yang cantik rupawan…
“Dengar, Pak Mandok?!” Sapa sang peri ramah, “Aku Peri Kesabaran. Kau telah melakukan suatu pekerjaannyang luar biasa dan aku patut memberimu hadiah” tuturnya kemudian lalu telunjuk kanannya tertuju ke arah sendok berkelereng, sejurus kemudian seberkas sinar kehijauan meluncur, lalu sekejap kemudian kelereng itu bercahaya kilau kemilau, menyilaukan kedua bola mata Mandok!“Nah, Pak Mandok?!” tutur Peri Kesabaran beberapa saat kemudian, “Kelereng itu kini telah ku ubah menjadi sebuah batu permata yang amat mahal harganya. Sekarang kuperintahkan engkau untuk mengakhiri semua penderitaanmu, lemparkan sendok itu dan Tuan Sampot memang patut di hukum!” Selesai berkata, Peri Kesabaran perlahan naik ke angkasa, meninggalkan Mandok yang tak sempat berucap terima kasih bahkan asik mengrjap-ngerjapkan kedua bola matanya, melemparkan sendok dari mulutnya dan menggenggam erat kelereng yang kini telah berubah menjadi batu permata yang bersinar kilau kemilau, “Oh terima kasih, Dewi…” cetus Mandok dengan mata berkaca-kaca penuh rasa sukur
SEPENINGGAL Mandok, kebakaran terjadi di Rumah megah Hartawan Sampot, hampir tak ada harta yang tersisa dan tuan Sampot akhirnya jatuh miskin. (*************)
(Di muat pertama kali di Majalah KAWANKU - Jakarta,NO 22 Edisi 2-8 Ja


DOKTER KECIL

Beberapa waktu lalu, Lutfi, diberi kepercayaan oleh wali kelasnya sebagai duta kesehatan kelas lima untuk menjadi Dokter UKS. Selama seminggu Lutfi di bimbing Pak Dokter dan stafnya di Puskesmas kecamatan untuk mengenal seluk beluk kesehatan.
Lutfi pada akhirnya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik di antara dua puluh peserta dan berhak menyandang predikat Dokter Kecil, Tugas Dokter Kecil adalah menyadarkan murid-murid di sekolahnya akan pentingnya arti kesehatan, serta berupaya menghimbau teman-temannya membiasakan hidup sehat.
Lutfi, Si Dokter Kecil, berupaya melaksanakan tugas yang diembannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap hari Sabtu, ia ‘buka praktek’ dengan cara mengunjungi kelas satu sampai kelas enam untuk memberi penyuluhan tentang kesehatan.
“Jarak antara mata dengan buku bacaan tidak boleh kurang dari 30 sentimeter dan jangan membaca sambil tiduran.” kata Lutfi dihadapan murid-murid kelas empat, “Sebab hal itu akan merusak indera pengelihatan kalian.” lanjutnya meyakinkan. Murid kelas itu senang sekaligus bangga karena ada anak sebaya mereka yang sanggup berbicara di muka kelas bak seorang guru.
“Teman-teman juga mesti rajin menggosok gigi paling sedikit dua kali sehari, sebab gigi yang sakit akan sangat mengganggu dan membuat kita sukar bicara dan makan dengan enak.” ingatnya pula seminggu lalu dihadapan teman-teman kelasnya.
“Iya, Pak Dokter.” sambut teman-temannya nyaris serempak, membuat Wali Kelas mereka tersenyum simpul.
“Kalau nenek-nenek yang giginya ompong apa perlu di gosok juga, Dok?” tanya Yudi, ketua kelas. Gurauannya tentu saja mengundang tawa seisi kelas
“Perlu.” sahut Lutfi sambil senyum jenaka, “Tapi jangan pakai sikat gigi. Pakai saja daun sirih. Kan nenek-nenek doyan makan sirih?” lanjutnya pula tak hilang akal membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak.
Usaha keras Lutfi Sang Dokter Kecil dalam membina hidup sehat di sekolahnya telah mendapat pujian dari pada guru dan teman-temannya. Sebagai bukti keberhasilan Lutfi selama tiga bulan berpraktek sebagai dokter kecil adalah: jumlah murid yang tidak masuk karena sakit telah menurun drastis jika dibandingkan dengan saat sebelum Lutfi bertugas.
Atas keberhasilan ini, Bapak Kepala Sekolah memutuskan untuk membebaskan Lutfi dari kewajiban membayar uang sekolah selama satu tahun! Hadiah istimewa ini diterima Lutfi dengan terharu karena hal ini akan sangat membantu meringankan beban ayahnya yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir mikrolet.
Jika di sekolah Lutfi berhasil, lain halnya ketika di rumahnya sendiri. Agaknya cuma ibunya yang mau mendengar nasehat-nasehat Lutfi mengenai kesehatan. Sementara kakan, kedua adik, dan ayahnya nampaknya enggan mendengarkan himbauannya tentang betapa pentingnya membiasakan diri untuk hidup sehat.
“Jangan sok menggurui.” sela abangnya dengan nada jengkel, “Aku ini abangmu. Aku lebih tahu segalanya dibanding kamu. Urus saja dirimu sendiri” lanjut abangnya ketika Lutfi mengingatkan abangnya bahwa membaca sambil tiduran itu bisa merusak penglihatan
“Abang tahu, tapi abang tidak sadar” timpal Lutfi tak mau kalah
“Ah, tutup mulutmu. Aku muak mendengar ocehanmu. Keluar kau dari kamarku, Cepat!” Sergah abangnya penuh kejengkelan. Lutfi pun keluar kamar dengan hati masygul.
Hal yang sama juga dialami Lutfi dari ayahnya.
“Ayah, maafkanlah Lutfi” kata Lutfi santun suatu sore di beranda rumahnya, “Penyakit batuk Ayah kian hari kian parah. Ini karena ayah terlampau banyak merokok. Berhentilah merokok, Yah.” saran Sang Dokter kecil penuh harap.
“Wah, sulit sekali, nak” sambut ayahnya cepat, “Merokok ini kebiasaan Ayah sejak lama” lanjutnya.
“Tapi akibatnya Ayah dapat terkena penyakit TBC” sahut Lutfi penuh kekhawatiran, “Bukankah sekarang saja ayah telah merasakan gejalanya?”
Dan belum habis ucapan Lutfi, suara batuk ayahnya langsung terdengar disertai raut wajah seperti orang menahan nyeri yang teramat sangat, “Hentikanlah kebiasaan yang dapat membahayakan jiwa kita, Ayah.” desaknya kemudian.
“Sudahlah,” ucap Ayah masih dengan napas tersengal-sengal, “Kau tahu, jika Ayah tak merokok, Ayah tak bisa mengemudikan mobil dengan tenang. Bawaannya mengantuk saja. Bisa bayaha, kan? Apa kamu ingin Ayah kecelakaan saat mengemudikan mobil, atau masuk penjara karena menabrak orang.?”
“Tentu Lufti tak ingin itu terjadi, Yah.” sanggah Lutfi cepat, “”Tapi lihatlah tubuh Ayah? Bukankah dari hari ke hari kian kurus digerogoti nikotin?”
“Sudah, Sudah. Kepala Ayah jadi pusing mendengarkan ceramahmu.” ujar Ayah sambil menyuruh Lutfi menjauh dari hadapannya..
Dengan hati sedih, Lutfi harus mengalah. Ia tahu hari itu ayahnya tak bisa mengemudikan mobil karena penyakit batuknya kambuh.
*****

Beberapa bulan kemudian, apa yang selama ini menjadi kekhawatiran Lutfi jadi kenyataan: Abangnya terpaksa memakai kacamata plus karena matanya menjadi rabun. Ayahnya pun jatuh sakit selama seminggu. Bahkan penyakit Ayah bertambah parah. Tubuh Ayahnya terlihat makin kurus Ayah yang semula menganggap remeh dan mengira cuma batuk akibat masuk angin, kini mau tak mau harus berurusan dengan dokter. Dokter telah mendiagnosa penyakit Ayah dan setelah melihat hasil rontgen berkesimpulan bahwa Ayah Lutfi mengidap TBC.
“Jika Bapak tak juga berhenti merokok, saya tidak bisa menjamin kesehatan Bapak.” ucap Dokter Rizal tegas sesaat menjelang ayah Lutfi keluar dari ruang pemeriksaan. Ayah Lutfi, dengan wajah pucat, menganguk lemah.
Lutfi bergegas menyambut kepulangan ayahnya dan langsung melontarkan pertanyaan, “Apa kata dokter, Yah?”
Tak menjawab, Ayah langsung memeluk tubuh Lutfi erat-erat disaksikan Ibu, kakak dan kedua adiknya. Lalu dengan suara lemah Ayah berkata, “Apa yang kamu katakana selama ini memang benar, Lutfi. Maafkan Ayahmu, Nak.”
“Ayah terkena TBC?”
Ayahnya mengangguk lemah, “Tapi mulai detik ini ayah akan berhenti merokok” ucapnya dengan suara parau.
Seketika meletup kegembiraan di hati Lutfi, “O, terima kasih, Ayah.” sambut Lutfi sambil mencium tangan ayahnya, “Ayah pasti akan segera sembuh” lanjutnya penuh rasa syukur
Sang Dokter kecil –Lutfi- yang tidak berhak memasukkan jarum suntik ke tubuh pasien dan cuma mampu memoleskan obat merah ini, akhirnya berhasil menyelamatkan ayahnya dari bahaya racun nikotin berkat keberaniannya untuk berkata benar meskipun untuk ayahnya sendiri.
Ya, Lutfi merasa tak perlu takut untuk mengingatkan ayahnya jika apa yang dilakukan oleh ayahnya tidak benar. Tentu saja Lutfi menyampaikannya dengan santun.


**********
TEMBANG JUANG SANG PAHLAWAN

Pada sudut barat taman kota, persis di bawah se batang pohon beringin tua berdaun rindang, Pak Tua itu menyandarkan tubuhnya yang letih, mengaso, sekedar berlindung dari sengatan mentari siang yang garang.
Ia membuka topi pandan lusuh yang menutupi kepalanya. Pipinya yang kempot, rambutnya yang memutih dan garis-garis ketuaaan di wajahnya kini jelas terlihat.
Sebuah kotak hitam empat persegi yang dipenuhidengan beberapa kawat yang terpasang sejajar, teronggok di sisi kanannya. Rupanya Pak Tua itu adalah seorang pemain kecapi, penembang lagu-lagu perjuangan.
Bagi Pak tua, kecapi itu adalah sahabatnya yangterkarib, sekaligus berperan sebagai alat baginya untuk mencari sesuap nasi. Dia akan tembangkan lagu-lagu juang, kan dentingkan kecapinya pada setiap orang yang sudi mendengarkan suara paraunya!
Pak Tua itu baru datang dari luar kota. Takl di ketahui dari mana asalnya. Namun dengan kecapi tua ditangannya, kemunculannya di tempat ramai tel;ah mengundang simpati banyak orang, terutama anak-anak.
Andi yang siang itu sedang mendorong sepedanya akibat ban belakangnya kempis, juga tenghah beristirahat di bawah pohon beringin, tentu saja tanpa diketahui PaK Tua itu, Andi dengan ekor matanya tengah memperhatikan segala tindak tanduk Pak Tua itu. Pada akhirnya ia tak dapat menahan diri, untuk berkenalan setelah mendengarkan jemari tangan ringkih Pak Tua memainkan kecapinya.


Itulah kali pertama Andi mengenal Pak Tua dan sejak saat itu tanpa sepengetahuan teman-temannya dan kedua orangtuanya, sepulang sekolah Andi kerap menemui Pak Tua itu bila kebetulan ia berada di Taman Kota.
Dari waktu ke waktu, persahabatan antara keduanya kian akrab. Beringin tua di sudut barat Taman Kota adalah tempat bagi keduanya menjalin temali persahabatan.
Dalam tiap pertemuan, Andi tak lupa menyiapkan ‘buah-tangan’ entah itu berupa kue kering, beberapa potong roti atau pun buah-buahan yangsengaja di bawanya dari rrumah.
Dari Pak Tua itu, Andi bukan saja menikmati permainan kecapi ataupun suara parau tembang juangnya, tapi dan ini yang paling disukainya adalah cerita Pak Tua tentang perjuangannya dulu saat mengusir sang penjajah.
“Sayang….” Komentar Pak Tua di suatu siang setelah ia bercerita tentang perang gerilya.
“Kenapa, Kek?” Tanya Andi penuh rasa ingin tahu
“Sesungguhnya hutan-hutan di seluruh tumpah darah Indonesia bukan saja bermanfaat untuk menimpan air atau sebagai paru-paru kota, tapi juga berjasa besar bagi perjuangan kemerdekaan kita”
Sejenak Andi mengernyitkan kening, sementara Pak Tua yang enggan memperkenalkan namanya itu sengaja menghentikan ceritanya sambil mengunyah daun sirih, “Berjasa bagi kemerdekaan?” gumamnya lirih tanpa sadar
Pak Tua menyadari jika Andi agakkebingungan, “Bahkan besar sekali asanya, nak” sambut Pak Tua ramah, “Sebab hampir semua hutan di tanah air kita ini dulu pada saat perjuangan mengusir penjajah telah dimanfaatkan secara maksimal oleh para pejuang kita sebagai markas perjuangan”
“Ooooo…….
“Dari dalam ‘perut’ hutan, seluruh setrategi juang di atur, serangan ke pos-pos musuh di siapkan, gerak gerik musuh di intai dan pejuang secara mendadak akan melakukan serangan, hal yang membuat musuh kalang-kabut! Setelah memetik kemenangan, pejuang kembali masuk hutan, membuat musuh kehilangan jejak untuk melancarkan serangan balasan. Perut hutan telah ‘menyembunyikan’ para pejuang dengan aman. Itulah siasat perang gerilya kita yang berhasil dilaksanakan dengan gilang gemilang! Nah, bukankah hutan telah berjasa besar bagi kemerdekaan, Andi?”
Andi mengangukkan kepalanya berulang-ulang, “Pantas jika Panglima Besar Sudirman lebih senang masuk hutan ketimbang menyerah kepada belanda, ya Pak!?” tuturnya kemudian
“Haa…kau sekarang mulai mengerti, bukan?” Sambut Pak Tua gembira
Alhasil, persahabatan antar keduanya terjalin kian erat. Bahkan Andi telah berniat untuk mengundang Pak Tua secara khusus ke rumahnya persis pada perayaan Ulang Tahun dirinya yang ke sebelas, minggu depan. Hal ini segera disampaikan pada kedua orang tuanya.
“Kau ingin mengundang Pak Tua pemain kecapi, Andi?” tukas ayahnya dengan ekspresi penuh keterkejutan
“Begitulah, Yah?!” Sambut Andoi cepat, “Dia buklan saja seorangpemain kecapi dan penembang lagu juang tapi juga seorang bekas pejuang kemerdekaan” lanjut Andi penuh semangat
“Haa….darimana kau tahu?”
Andi tersenyum lalu menuturkan riwayat perkenalannya dengan Pak Tua aneh itu, “Sayangnya Andi tak diberitahu siapa namanya, Yah:
“Jangan…jangan….” Gumam Ayah Andi sambil mengernyitkan kening, “Oke kalau beghitu undanglah Pak Tua sahabatmu itu, ayahpun ingin berkenalan dengannya, nak” Lanjutnya kemudian
“Terima kasih, Yah” Sambut Andi riang
******
Seminggu kemudian, siang itu di rumah tinggal Andi nampak satu per satu teman sekolah maupun teman se kampung telah berdatangan ke rumahnya dengan mengenakan pakaian yang yang bagus bagus. Andi menyambut ucapan selamat ulang tahun dari teman-temannya dengan penuh suka cita namun ekor matanya tak henti mengerling ke arah jalan raya di luar, menunggu kedatangan ‘undangan khusus’nya dengan hati berdebar-debar.
Persis pada pukul sebelas siang setelah seluruh undangan berkumpul dan Andi letih menunggu, nampak sesososk tubuh ringkih muncul di ambang pintu pagar sambil menggendong kecapi!
“Horee…beliau sudah dating, Ayah” pekik Andi girang sambil berlari menyambut keedatangan sang [penembang lagu juang.
Ayah Andi pun bergegas ke luar rumah. Pak Tua itu terpaku, bola matanya mengerjap, bibirnya gemetar ketika ayah Andi menjabat tangannya erat-erat. Hal yang sama sepertinya dialami pula pada diri Ayah Andi
“Pak Mandok?” Sapa Lirih Ayah Andi dengan suara tergetar
“Dik Lawil-kah, engkau?” cetus suara parau Pak Tua
Kedua orang itu seketika saling mengangguk, melepas jabat tangan dan langsung berpelukan erat, erat sekali……dengan kedua bola mata mereka berkaca-kaca. Kejadian ini disaksikan Andi dabn kawan-kawannya dengan tanda Tanya besar.
“Nah, anak-anak sekalian” Ujar Ayah Andi beberapa saat kemudian, “Hari ini adalah hari yang paling istimewa bukan saja bagi Andi tapi juga bagi Ayah, karena pada hari ini ayah dapat berjumpa kembali dengan mantan komandan Ayah di zaman perang kemerdekaan dahulu dan dialah orangnya, Kek Mandok”
Denting kecapi disertai lantunan tembang juang sang Pahlawan berkumandang di rumah Andi pertanda kembalinya seorang pahlawan yang terlupakan!
(Di muat pertama kali di SUARA KARYA – Jakarta Edisi Sabtu, 12-11-1983)



SENANDUNG BOCAH ANGON

Lima ekor kambing yang terkurung dalam kandang bambu di halaman samping kanan gubuk itu serentak mengembik begitu melihat tuan kecilnya pulang sekolah. Dan dari embiknya itu seolah berkata, “Selamat siang, Tuan Rosid. Lihat, matahari telah dipuncaknya. Tiba waktunya bagi kami untuk merumput dan bercanda denganmu, bukan?”
Rosid pun bergegas membuka pintu kandang, pekerjaan pertama yang dilakukannya setiap hari sepulang dari sekolah. Rosid enggan melepas ternaknya itu di pagi hari sebab rumput pada saat itu masih berembun, kurang baik bagi pencernaan kambing-kambingnya.
Kelima ekor kambing itu sabar menunggu tuan kecilnya yang tengah berganti pakaian dan makan siang. Rosid kini duduk di kelas enam SD Inpres di desanya. Beberapa saat kemudian, Rosid mulai menggembalakan kambing-kambingnya ke padang rumput nun di ujung utara desa. Sambil bermain sebebas angin, dengan sebuah ketapel melingkar di leher, parang tergantung di pinggang, topi pandan menutupi kepala dan seruling bambu dalam genggaman tangannya.
Rosid dan kambing-kambingnya lebih dulu singgah di dangau Nek Atun di tengah sawah. Nek Atun adalah pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada. Beliau pula yang mengasuh dan membesarkan Rosid sejak bayi.
Bagi Rosid, kelima ekor kambing itu adalah sahabat-sahabatnya yang terdekat. Bersama mereka, Rosid menikmati hari-harinya sepulang sekolah hingga senja tiba. Dengan seruling bambunya, ia akan menyenandungkan getar rindu pada sosok ayah dan ibu yang tak dimilikinya, juga cintanya pada kampung halaman.
Begitulah. Antara Rosid dan kambing-kambingnya terjalin persahabatan yang unik dan tulus.
Rosid baru menyudahi menggembalakan kambing-kambingnya saat hari menjelang senja. Ia kembali pulang ke rumah dengan bahu memikul dua ikat kayu bakar. Acapkali ia kembali pulang bersama neneknya yang pulang dari ladang. Begitulah lagu kehidupan yang dijalani Rosid setiap hari.
*****

Akhir-akhir ini agaknya alam tak lagi ramah pada lingkungan. Mentari teramat garang menyinari bumi, sementara hujan sudah lama enggan membasahi bumi kelahiran Rosid. Bencana kekeringan mulai datang melanda desa. Tanah-tanah retak. Dedaunan di pohon rontok. Rumputan meranggas. Semua berganti dengan kegersangan.
Musim paceklik tiba. Beberapa warga yang tak lagi mampu untuk menanak nasi, terpaksa makan singkong, gaplek atau apa saja yang masih bisa di makan demi mencegah kelaparan.
Musim kemarau yang panjang telah memasung keakraban Rosid dengan kambing-kambingnya. Rosid kini tak bisa mengajak kambingnya merumput. Dia harus turun tangan langsung mencarikan makanan bagi hewan kesayangannya itu.
Pucuk pohon kedondong, daun pisang, daun jambu, dan daun-daun lainnya hampir setiap hari mesti dicari dan dikumpulkannya. Rosid tak ingin kelima ekor kambingnya mati keparan. Kini seolah tiada lagi sendau gurau atau bermain sebebas angin, sebab alam telah kering kerontang, gersang dan berdebu.
Ternyata tak cukup sampai disini saja derita Rosid. Sejak seminggu lalu, Nenek tak lagi ke lading. Beliau memilih duduk bertopang dagu di rumah gubuknya. Perubahan ini membuat Rosid bertanya-tanya dalam hati. Nek Atun nampak enggan menceritakan masalah yang kini telah berada di ambang pintu kepada Rosid cucunya
Sore itu, sepulang mencari makanan untuk kambingnya, Rosid menyapa neneknya.
“Hmm, ada apa, Rosid?” sambut Nek Atun sambil membetulkan letak duduknya dan mencoba untuk tersenyum, “Apa kambing-kambingmu itu sudah diberi makan?” lanjut neneknya kemudian
Rosid menganggukpelan, “Nenek sakit?” tanya Rosid cemas. Nek Atun menggeleng sambil senyum. Ada rasa lega di wajah Rosid, “Ah, mungkin Nenek cuma letih saja, ya?”
“Tidak juga, Rosid.” sahut neneknya cepat, “Engkau sudah menjenguk ladang kita?”
Kening Rosid mengernyit lalu menggeleng malu. Yah, akibat kesibukannya mengurusi kambing, Rosid seperti tak punya waktu lagi untuk mengurus lading.
“Maafkan Rosid, Ya Nek?”
“Nenek maklum. Engkau memang harus mengurus kambing-kambingmu. Tapi Rosid…” Neneknya menggantung kalimatnya.
“Ya, Nek?! Ada apa? Nenek ingin Rosid mengurus ladang? Biar Rosid nanti menggantikan tugas Nenek.Rosid kan sudah besar.”
Nek Atun tersenyum bangga mendengarnya, “Percuma, Rosdi…:” sambut Nenek getir, “Kemarau panjang telah merusak ladang kita. Bahkan tanaman padi huma kita telah musnah.” lanjutnya dengan wajah muram. Rosid terperanjat mendengarnya
“Minggu depan persediaan beras kita habis, sedangkan Nenek tak punya simpanan uang untuk membeli beras. Lagi pula tak ada lagi benda berharga yang bisa kita jual..”
Rosid kini baru menyadari apa yang selama ini dicemaskan Nenek.
Kedua orang itu termenung. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dari arah kandang kambing terdengar embik kelima ekor kambing. Kian lama kian bertambah keras, membuat Rosid tersentak dari lamunannya.
“Aha, aku tahu jalan keluarnya.” desis Rosid dalam hati, sejurus kemudian ia berkata, “Nek….?!”
“Ya, Rosid.”
“Bukankah kita masih punya lima ekor kambing?”
Nek Atun mengernyitkan kening, “Tapi, itu kan kamping kesayanganmu.” Ujarnya mengingatkan.
Rosid tersenyum, “Bagaimana pun juga, Rosid lebih menyayangi Nenek, dong” tukas Rosid pasti. “Besok pagi kelima ekor kambing kita bawa ke pasar. Kita jual dan uangnya kita belikan beras.”
“Jangan semuanya, Rosdi.” sanggah Nek Atun cepat., “Lebih baik jual sebagian saja. Sisanya tetap engkau pelihara.”
“Apakah cukup untuk membeli beras dan kebutuhan kita yang lain,, Nek?”
“Lebih dari cukup, Rosid.”
“Baiklah kalau begitu. Rosid setuju saja, Nek.” sambut Rosid riang
Rosid, Si Bocah Angon, memang tahu membalas budi. Dia rela berpisah dengan tiga ekor kambingnya ketimbang mereka kelaparan. Rosid tiba-tiba saja merasa telah menjadi pahlawan bagi neneknya tercinta.


**********


BU GURU DALAM LUKISAN

Irfan menjalani masa liburan panjang dengan lesu. Bukan karena ia tidak naik kelas. Ia justru naik ke kelas enam dengan nilai memuaskan. Justru yang menjadi penyebab adalah jatuh sakitnya sang Ibu Guru tercinta, Ibu Mutia.
Pidato Kepala Sekolah menjelang buku rapor dibagikan bernada tidak menggembirakan, “Anak-anak, ibu guru kalian dengan sangat terpaksa tak dapat membagikan rapor ini secara langsung ke tangan kalian karena beliau tiba-tiba jatuh sakit dan kini di opname di rumah sakit. Mari kita berdoa untuk keselamatan beliau”
Pidato ini membuat suasana pembagian rapor menjadi murung. Semua murid kelas lima berlaku seperti anak ayam kehilangan induknya.
Memang, Ibu Mutia telah mendapat tempat khusus di hati anak didiknya. Ia di kenal sebagai guru yang bijaksana. Wajahnya senantiasa berhiaskan senyum penuh kasih. Tutur katanya lembut, suaranya jernih dan perilakunya amat santun. Hampir tak pernah ia terlihat marah. Wajar jika murid-murid segan dan menghormatinya.
Selama hampir sepuluh tahun ia bertugas, tak sekalipun ia menghukum anak didiknya yang bersalah dengan kekerasan. Mereka justru diberinya nasihat yang disampaikan dengan lemah lembut dan sabar. Ibu Mutia sungguh amat mencintai anak didiknya, teristimewa kepada Irfan.
Beliau adalah satu-satunya orang yang mau mengerti keadaan Irfan. Jika ayah dan kedua abangnya amat marah ketika mengetahui ia gemar melukis tokoh-tokoh komik, hingga buku gambarnya dipenuhi dengan gambar-gambar Superman, Batman, Gundala, Godam, Laba-laba Merah, dan sebagainya, Bu Guru Mutia justru bersikap sebaliknya. Beliau amat mengagumi dan memuji bakat melukis yang dimiliki Irfan.
“Hmmm…agaknya kau punya bakat melukis, Irfan?!” pujinya suatu waktu, “Tapi hendaknya kau mesti bisa membagi waktu agar tak menggangu pelajaran lainnya” tuturnya pula suatu hari ketika kedapatan Irfan tengah menggambar saat jam pelajaran Bahasa Inggris.
Bu Mutia bahkan turut membantu mengembangkan bakat melukis Irfan dengan menyuruh Irfan melukis potret para pahlawan nasional. Irfan tak menyia-nyiakan tawaran ini. Sepuluh potret pahlawan nasional mulai dari Pangeran Diponegoro, Hasanudin sampai kepada Pattimura yang diserahkan Bu Mutia, dipindahkannya ke atas kertas gambar besar. Dan hasilnya? Mirip dengan potret aslinya!
Hasil ini disambut gembira oleh Bu Guru dan teman-temannya. Sebagai penghargaan atas jerih payahnya, lukisan para pejuang nasional itu diberi bingkai lalu di pajang di sekeliling dinding kelas.
Tidak sampai disitu saja bantuan yang telah diberikan Bu Mutia. Lukisan RA Kartini-nya diikutsertakan dalam sayembara melukis antar SD sekotamadya dan berhasil meraih juara dua.
Tak mengherankan jika Irfan kini merasa kehilangan dengan jatuh sakitnya sang Ibu Guru tercinta.
Hari itu juga sehabis pembagian rapor, Irfan bersama teman-temannya sekelas berkenan menjenguk Sang Guru di Rumah Sakit Umum. Sungguhpun wajahnya nampak pucat, namun senyum penuh kasih tetap mengembang dari celah kedua bibirnya ketika menyambut kehadiran murid-muridnya.
Dan Irfan kian berduka takkala dokter yang merawat Bu Mutia berpesan pada mereka, “Bu Guru terlampau bekerja keras dalam mendidik kalian hingga mengabaikan kesehatannya sendiri. Berdoalah untuk kesembuhan ibu guru kalian.”
“Maksud Pak Dokter??” sergap Irfan khawatir
“Tak perlu cemas. Tak baik menjenguk orang yang sakit dengan bersedih. Gembirakanlah ibu guru kalian. Sekali lagi, berdoalah dengan tulus demi kesembuhannya.” tutur Pak Dokter kemudian dengan suara perlahan
Pesan Pak Dokter ditaati Irfan dan teman-temannya. Ya, mereka dihadapan Sang Guru tak boleh memperlihatkan sikap sedih, justru sebaliknya berupaya untuk menggembirakannya. Anak-anak itu nampak mulai menyadari betapa besar pengorbanan gurunya..
Sepulang dari Rumah Sakit, Irfan terlihat lebih senang duduk menyendiri. Keceriaan di wajahnya berganti dengan kemuraman. Ajakah ayahnya untuk berlibur ke Jakarta sebagai hadiah naik kelas ditolaknya,
“Tidak, ayah, terima kasih” sahut Irfan mantap, “Irfan tak butuh liburan ke kota Jakarta. Yang Irfan butuhkan adalah uang lima puluh ribu rupiah” lanjutnya kemudian.
“Hmm…untuk apa uang sebanyak itu, nak?”
“Untuk Bu Guru Mutia” sahut Irfan kemudian
Tentu saja ayahnya langsung memenuhi keinginannya itu. Bukankah permintaan ini sama sekali tak berarti jika dibandingkan biaya berlibur ke Jakarta?
Dengan uang pemberian ayahnya, Irfan langsung membeli peralatan melukis mulai dari kanvas, cat dan kuas.
Sejak hari pertama liburan kenaikan kelas, Irfan memanfaatkan waktu luangnya sepenuhnya untuk melukis bu gurunya tercinta. Kali ini Irfan melukis berdasarkan daya imajinasinya. Pada awalnya ia menemui sedikit kesulitan karena melukis cara demikian jarang dilakukannya. Namun Irfan tak patah semangat. Ia terus mencoba dan mencoba tanpa perlu berkeluh kesah. Pada usahanya yang kelima kali akhirnya ia berhasil membuat sketsa wajah ibu gurunya yang menurutnya mendekati aslinya!
Irfan kini melukis sosok gurunya yang senyumnya seindah mentari namun kini terbaring lemah tak berdaya di dera penyakit paru-paru yang parah.
Tak terperikan kegembiraannya takkala pada hari ke tujuh ia berhasil menyelesaikan tugasnya. Kini di atas kanvas itu terpampang sosok Bu Guru Mutia tengah tersenyum penuh kasih, berdiri di sisi papan tulis, memegang sebutir kapur tulis, sambil menghadapi murid-muridnya.
Keesokan harinya, dengan rasa riang bercampur cemas, Irfan pergi sendirian ke Rumah Sakit untuk membesuk Bu Mutia sekaligus mempersembahkan buah karyanya.
Di hatinya tumbuh sepercik harapan, bahwa Bu Mutia akan menerima persembahannya ini dengan penuh kegembiraan. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, Irfan tak lupa berdoa demi kesembuhan Sang Guru.
Perasaan cemas, sedih, kecewa dan takut berbaur menjadi satu pada ketika di dapatinya ranjang tempat Sang Guru terbaring telah ditempati oleh pasien lain. Beragam dugaan berkecamuk dalam dirinya.
“Apakah Bu Guru telah sembuh hingga diperkenankan dokter pulang? Atau? Ah…” Lama Irfan termangu di muka ruangan itu sampai seseorang menepuk bahunya,
“Oh, Pak Dokter” sambut Irfan tergagap takkala mengetahui orang yang menepuk pundaknya itu adalah dokter yang seminggu lalu merawat Bu Mutia.
“Engkau anak didik Bu Mutia, bukan?” duga Pak Dokter ramah.
Irfan mengangguk dan cepat menukas, “Dimana Bu Guru sekarang, Pak Dokter? Apakah beliau telah sembuh?”
“Tabahkanlah hatimu, Nak” sambut Pak Dokter parau, sambil memegang bahu Irfan, “Ibu Gurumu telah berpulang kepangkuan Illahi dua hari yang lalu….
“Bu Guru…” hanya kata itu yang terucap dari celah bibir Irfan.
Bu Guru Dalam Lukisan, itulah judul lukisan Irfan. Lukisan itu tak sempat dipersembahkan kepada Bu Mutia, sang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun ia tetap hidup dalam kalbu murid-muridnya, terutama di hati Irfan.
“Selamat jalan Bu Guru tercinta. Semoga Tuhan menganugerahkan surga bagimu” bisik Irfan sambil berlinang air mata.



***************

HIKAYAT PANGERAN LIMAN SAKTI

Sahdan pada zaman dahulu kala, di ujung selatan Pulau Perca berdiri megah kerajaan Tunggamidang yang dipimpin oleh Raja arif lagi bijaksana: Pangeran Liman Sakti dengan didampingi sang permaisuri cantik jelita: Ratu Cindarbumi.
Pangeran Liman Sakti dalam menjalankan pemerintahannya, senantiasa memikirkan kepentingan rakyatnya. Terkadang turun langsung ke daerah demi untuk mendengarkan keluh kesah warganya dengan mengendarai tunggangan kesayangannya, seekor gajah perkasa bernama Gardala.
Gardala bukan sekedar kendaraan bagi raja namun perannya jauh lebih penting sebagai pelindung sekaligus pembela raja dan hal ini sudah seringkali dibuktikan oleh Gardala pada setiap raja menghadapi marabahaya.

Pada setiap pagi manis bangkit dari baringnya, geliat Kehidupan masyarakat kerajaan Tunggamidang mulai nampak. turun dari rumah panggung masing-masing dengan kepala bercaping bambu, bahu mencangkung pacul dan tangan menating kendi melangkah pasti menuju sawah dan huma masing-masing disertai wajah ceria penuh rasa sukur nuansa tentram dan damai senantiasa memayungi kehidupan warga Tunggamidang. Bumi yang subur dicumbu dengan gerak kiprah tangan-tangan cekatan disertai payung keamanan dari Raja Bijak, sudah barang tentu menghasilkan panen yang melimpah ruah, tak hanya dinikmati oleh warga kerajaan, tapi juga oleh warga kerajaan Pagunpedom.

Bagi yang berumah tinggal di kawasan pantai, adalah saatnya berkiprah selaku pencalang laut sejati yang dengan kaki telanjang melangkah pasti menuju bibir pantai, melajukan jukung masing-masing membelah ombak bercumbu aroma air bergaram lalu kedua tangan kukuh lagi cekatan akan menebar jala atawa melempar mata kail guna memperdaya ikan-ikan demi kehidupan hari esok yang lebih baik.


Alhasil, berkat kerja keras segenap penduduk dan pengayoman yang arif lagi bijaksana dari sang raja, kehidupan warga kerajaan Tunggamidang sejatinya penuh dengan aura tentram dan damai, sungguh amat jauh berbeda dengan penduduk dari warga kerajaan Pagunpedom yang diperintah oleh Sang Raja Lalim: Adigung Samberjagat.

Sampai di suatu waktu, Sang Raja kedatangan perutusan dari kerajaan Samudera Pasai nun di Utara Pulau Perca dalam rangka menyampaikan undangan pelantikan Putra Mahkota Kerajaan. Mengingat hubungan baik yang terjalin selama ini, Raja tak kuasa menolak dan menyatakan akan hadir sungguhpun perjalanan menuju Kerajaan Samudera Pasai membutuhkan waktu berbulan-bulan,
“Wahai segenap Punggawa dan hulubalang kerajaan” sabda beliau di Balai Keratun dihadapan Permaisuri, para Menteri dan punggawa sepeninggal perutusan Kerajaan Samudera Pasai.

“Ampun paduka, segala titah paduka akan hamba junjung tinggi” sahut hadirin takzim dan serempak.

“Minggu depan, aku akan memenuhi undangan Raja Malikus Saleh dari Kerajaan Samudera Pasai. Mengingat perjalanan itu akan memakan waktu yang cukup panjang, maka Pucuk Pemerintahan akan kuserahkan kepada Ratu Permaisuri. Aku berharap sepeninggalku, pemerintahan tetap berjalan sebagaimana adanya dan rakyat tak ada yang dizolimi, Apa kalian sanggup?”

“Ampun Paduka, kami akan menjalankan segenap titah paduka dengan nyawa taruhan kami”


Berita bakal kepergian Raja melawat kenegri sebrang, berhasil diketahui oleh telik sandi dari kerajaan Pagunpedom yang memang sudah lama berminat untuk menguasai kerajaan Tunggamidang namun terhalang oleh kesaktian sang Raja Pangeran Liman Sakti.

Maka Sidang rahasia para punggawa kerajaan Pagunpedom segera digelar dalam rangka mengatur setrategi penyerbuan kenegri tetangganya, negri yang telah banyak membantu kehidupan warganya dari hasil penen dan laut Tungamidang.
“Wahai sekalian punggawa dan hulubalangku” Titah Raja Adigung Samberjagat
“Ampun paduka, duli agung yang kami pertuan” sambut hadirin serentak

“Kini tiba saatnya kita akan menguasai Tunggamidang! Segera siapkan balatentara Pagunpedom. Penyerbuan akan segera kita laksanakan begitu armada Raja Tunggamidang berada di Laut Jawa” Titah raja penuh Jumawa sambil tersenyum licik.

Tibalah saatnya Pangeran Liman Sakti bersiap meninggalkan kerajaannya dari dermaga pantai Bakauheni. Baginda disertai Gardala dan sejumlah kecil hulubalang memasuki kapal kerajaan: Mandawasa dilepas Ratu Permaisuri dan segenap petinggi kerajaan.
Beberapa saat kemudian sauh diangkat, Mandawasa mulai bergerak membawa raja menjelajah samudera memasuki selat sunda di bawah lambaian tangan warganya yang melepas kepergiannya dengan hati masygul, karena Raja dan Tunggamidang adalah segalanya. Tunggamidang tanpa Pangeran Liman Sakti amat sangat berbahaya!


Apa yang dikhawatirkan itu memang sungguh terjadi! Baru tiga hari raja meninggalkan negrinya, serbuan dari balatentara kerajaan Pagunpedom datang bergelombang! Diawali dengan balatentara gajah yang langsung dipimpin Raja Adigung Samberjagat!
Dalam sekali gebrakan mereka berhasil meluluhlantakkan segenap kedamaian Tunggamidang, menjarah segenap harta benda penduduk, menzalimi segenap keadilan dan ketentraman, maka Kerajaan Tunggamidang dalam tempo singkat jatuh dalam kekuasaan Adigung Samberjagat tanpa memperoleh perlawanan yang berarti dari balatentara Tunggamidang. Sungguhpun para hulubalang dan punggawa kerajaan mencoba mempertahankan negrinya mati-matian, namun sia-sia. Ribuan korban bergelimpangan akibat amukan balatentara gajah, Para Mentri, punggawa, hulubalang berjatuhan menjadi pahlawan Tunggamidang. Ratu Permaisuri beserta berapa menteri menjadi tawanan,

Balai Keratun kini menjadi ajang pesta pora Raja Adigung Samberjagat beserta Para Punggawanya.
Kini lenyap sudah ketentraman dan kedamaian di Tunggamidang! Tiada lagi geliat petani dan nelayan dalam gelimang dan naungan sang raja bijak. Penduduk dipaksa melayani raja dan balatentaranya. Yang melawan akan seketika dilenyapkan dari muka bumi. Dimata Adigung Samberjagat, penduduk adalah abdinya yang mesti menuruti semua keinginan-keinginannya. Yang membangkang akan langsung di pagas! Beberapa penduduk yang enggan hidup sebagai budak,
bergegas mengungsi ke pengunungan, ke pulau-pulau terpencil, meninggalkan rumah tinggal beserta segenap harta bendanya demi menghindar dari kekejian Raja Adigung Samberjagat.


Namun kezaliman takkan mungkin abadi di muka bumi, suatu saat pasti akan lenyap. Karena angkara dan durjana adalah tarian setan yang dibenci peradaban dan kemanusiaan.
Tiga bulan kemudian, Raja Tunggamidang kembali dari Samudera Pasai. Semula Mandawasa akan langsung menuju Bakauheni, namun di tengah laut dihadang oleh jukung-jukung yang ternyata sisa-sisa laskar Tunggamidang yang melarikan diri. Raja segera memperoleh laporan jika Tunggamidang kini luluhlantak. Mandawasa dialihkan untuk merapat di muara Way Mesuji, Raja dan sisa hulubalang segera mempersiapkan diri untuk merebut kembali Tunggamidang. Dan belantara Hutan Way Kambas kini dijadikan sebagai pusat komando Pangeran Liman Sakti untuk merebut tanah airnya kembali dari sang raja lalim Adigung Samberjagat!

“Wahai Gardala!” Sabda raja pada gajah kesayangannya
“Aauuuu” sahut Gardala takzim
“Kumpulkan saudara-saudaramu yang lain yang ada disekitar Way Kambas ini untuk menjadi balatentaramu guna menyerbu masuk menghancurkan kezaliman dan membebaskan Ratu permaisuri!”
“Aaauuuuuu...!” Sahut Gardala yang langsung bergegas masuk hutan guna mencari saudara-saudaranya yang lain.

Pangeran Liman Sakti beserta sisa balatentaranya segera mengatur setrategi untuk merebut kembali Tunggamidang dari tangan penjajah! Telik Sandi segera disebar untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Kembalinya sang raja arif segera tersebar ke sisa-sisa pasukan yang selamat dari ajang pembantaian. Penduduk Tunggamidang yang selamat segera turun gunung guna membantu raja menyiapkan perbekalan. Nelayan yang mengucilkan diri di pulau terpencil segera secara diam-diam tanpa sepengetahuan sang raja lalim segera bahu membahu menyiapkan diri untuk berjuang dibelakang rajanya.


Sebulan kemudian, persiapan selesai. Gardala berhasil membawa sekitar seratusan gajah liar dari belantara Way Kambas sebagai kendaraan perang pasukan Tunggamidang. Perbekalan pasukan telah disiapkan oleh para petani dan nelayan. Payan, laduk, tameng, tombak, skin, panah, gada dan beragam Persenjataan perang lainnya pun telah disiapkan oleh para pemande ulung yang kini telah bergabung.

Hari “H” penyerbuan ditetapkan pada saat sang raja angkara: Adigung Samberjagat akan mentahbiskan anaknya sebagai raja muda Tungamidang minggu depan!

Pada hari yang telah ditentukan, persis pada saat segenap konsentrasi Raja dan balatentara Pagunpedom di arahkan ke alun-alun di hadapan Istana Tunggamidang, (tempat dilaksanakannya pentahbisan putra raja Adigung Samberjagat sebagai raja muda Tunggamidang yang baru); nun di belantara hutan Way Kambas, Raja teraniaya: Pangeran Liman Sakti dari atas punggung Gardala, dihadapan balatentaranya, tengah menyampaikan kumandang pesan penyerbuan,

“ Wahai segenap rakyatku! hari ini saatnya bagi kita untuk bersama-sama berjuang merebut dan membebaskan tanah air kita dari belenggu sang angkara Adigung Samberjagat!” Titah sang raja dengan suara berwibawa, “Dengan pi’il pesenggiri yang tertanam dalam darah kita, mari kita bebaskan negri kita dari jarahan sang angkara...”

“Hidup Raja....!” Pekik Penduduk sambil mengacung-acungkan beragam senjata ke udara, “Mari
bebaskan negri kitadari kezoliman” Sambur yang lain, “Hore....!!”


“Saat ini adalah saat yang tepat, sebab mereka tengah berpesta pora menikmati kemenangan mereka. Dan yakinlah wahai rakyatku, kezaliman pasti akan mampu kita hancurkan” Lanjut raja sambil memberi aba-aba kepada Gardala untuk mulai bergerak.
Dengan Gardala di depan, diikuti balatentara gajah yang lain, bala tentara Tunggamidang mulai bergerak menuju daerah kekuasaan sang raja lalim. Satu demi satu daerah yang jauh dari pusat kerajaan jatuh kembali ke dalam kekuasaan balatentara Pangeran Liman Sakti nyaris tanpa perlawanan berarti, bahkan sisa pasukan Pagunpedom lari tungganglanggang ke pusat kota, sebagian lagi menyerah. Kian mendekati pusat kerajaan, bala tentara Tunggamidang kian membesar jumlahnya akibat bergabungnya secara sukarela penduduk Tunggamidang untuk bersama-sama raja mereka mengusir sang durjana!

“Lapor paduka!” ujar seorang prajurit kepada Raja Adigung Samberjagat dengan terengah-engah persis pada saat sang raja sedang bersiap-siap untuk meletakkan mahkota raja muda Tunggamidang kepada putranya, Adigung Jagatnata,

“Ada apa hai prajurit!” Ujar Sang Raja sambil mendelik

“Ampun paduka” sambut prajurit sambil menyembah, “Pasukan Raja Tunggamidang telah berada di pintu gerbang kerajaan....!
Raja menjadi geram, langsung melemparkan mahkota yang ada ditangannya, segera memerintahkan bala tentara gajah yang menjadi kebanggaannya untuk bergerak menghadang musuh.......Perhelatan akbar pentahbisan raja muda Tunggamidang dibatalkan, suasana alun alun dan istana menjadi kacau balau, masing-masing segera mempersiapkan diri untuk berperang, sebagian lagi sibuk menyelematkan hasil jarahan masing-masing.......


Dalam kurun waktu tak sampai dua jam, dua pasukan besar telah saling berhadap-hadapan dilapangan terbuka: Alun-alun Penengahan! Pasukan gajah pimpinan Gardaala dengan Raja Pangeran Liman Sakti di punggungnya berjajar dengan gagah dihadapan pasukan gajah pimpinan Adigung Samberjagat. Pasukan gajah asli Tunggamidang memang kalah dalam jumlah namun unggul dalam bentuk tubuh, hal yang membuat pasukan gajah Pagunpedom ketar ketir!

“Wahai Samberjagat! Menyerahlah! Jangan biarkan banjir darah di bumi Tunggamidang demi memuaskan ambisi serakahmu” Pekik mengguntur Pangeran Liman Sakti yang disertai tenaga dalam sehingga suaranya dapat diterima dengan jelas oleh pasukan musuh.

“Hahaha........engkau yang seharusnya menyerah!” Balas Samberjagat tak kalah gertak, “Lihat jumlah gajah yang kau miliki, sungguh tak sebanding dengan balatentaraku, serbuuu...........
Perintah ini langsung diikuti oleh gerakan seribuan pasukan gajah Samberjagat, bumi seakan berguncang, debu mengepul ke udara ditingkah pekik perang kedua belah pihak.
“Aaaauuuuuuuuu......” Lenguhan sang gajah Sakti: Gardala seketika melesat keudara sambil memutar-mutarkan belalainya, lenguhannya demikian memilukan, mengguncang gerakan maju pasukan gajah Samberjagat
“Aaaauuuuuuuu.....” pada lenguhan yang kedua sang gajah sakti, sungguh amat luar biasa akibatnya, seperti memikliki kemampuan magis membuat ayunan kaki-kaki binatang raksasa seketika terhenti
“Ayo...Majuuuuu....” Pekik Samberjagat memberi aba-aba sambil mencemeti punggung gajah yang dikendarainya, sayang seluruh balatentara gajahnya bergeming, seperti tak mendengar pekikannya yang mengguntur itu

“Aaauuuuuuuuuuuuuu.....!” Pada pekikan yang ketiga ini seperti dikomando, seribuan gajah itu serta merta melemparkan pengendaranya...

“Aaauuuuuuuuuuuu...” pada pekikan keempat Gardala disertai gerakan tubuhnya yang berdiri diantara dua kaki belakangnya dengan kedua kaki depan menggapai-gapai (seakan menyampaikan salam selamat datang), hal yang membuat ke seribu gajah milik Samberjagat yang dipunggungnya kini tak lagi diduduki prajurit itu, melangkah pasti meninggalkan pasukan kerajaan pagunpedom untuk mendekati balatentara gajah Raja Tunggamidang, tidak untuk bertempur namun untuk bersatu, membaur dengan para gajah pimpinan Gardala

“Aaaauuuuuuuuu.......” pekikan seribuan gajah saat bergabung dengan pasukan Raja Tunggamidang.

Raja Adigung Samberjagat beserta balatentaranya (yang dijatuhkan dari punggung gajahnya masing-masing) Cuma bisa melongo menyaksikan semua kejadian yang di luar dugaan ini

Kini terlihat pemandangan yang amat kontras, Raja Samberjagat beserta pasukannya berdiri di atas tanah berhadapan dengan pasukan gajah Raja Tunggamidang!

“ Hai Samberjagat, jika kau benar-benar seorang lelaki, mari kita selesaikan urusan ini secara jantan” Tantang Raja Tunggamidang sambil turun dari atas punggung Gardala, “Jangan kau korbankan darah prajuritmu untuk pemuasan hawa nafsu serakahmu! Dan kepada prajurit Pagunpedom, jika ingin selamat, menyerahlah! Kembalilah kalian ke negri kalian. Saya akan memaafkan kalian sepanjang kalian pulang dengan tidak membawa hasil jarahan kalian dari negri ini!”


Raja Adigung Samberjagat tak punya pilihan lain. Dia harus menerima tantangan ini. Keduanya dalam sekejap telah saling berhadap-hadapan dengan pedang terhunus ditangan masing-masing disaksikan oleh kedua belah pasukannya.

Trangng! Denting kedua pedang beradu memecah kebisuan, pertarungan hidup mati pun berlangsung dengan seru ditingkah pekik pasukan masing-masing, sayang tak sampai lima belas menit, pertarungan selesai dengan ujung pedang Pangeran Liman Sakti bersemayam persis di jantung Raja lalim Adigung Samberjagat!

Perang besar berhasil dicegah. Pasukan Pagunpedom dimaafkan oleh sang raja bijak, disuruh kembali kenegri mereka dengan hanya membawa jasad raja lalim mereka dan pakaian yang melekat di tubuh masing-masing. Seluruh harta jarahan dikembalikan kepada Rakyat Tunggamidang. Pangeran Liman Sakti kembali menduduki tahtanya didampingi sang Permaisuri Ratu Cindarbumi dan memerintah negrinya sampai akhir hayat.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasa Pangeran Liman Sakti dan Gardala, maka persis di pintu masuk gerbang kerajaan dibangun patung raksasa Raja Tunggamidang berdiri gagah di punggung gajah kesayangannya: Gardala!
Raja alim-raja disembah, raja zalim-raja disumpah! (Bandarlampung, 100505)

Catatan: Menjadi naskah Sendratari Pembukaan Festival Krakatau PemdaLampung Tahun 2005 di Bakauheni, Lampung Selatan.
Liman=gajah. Pagas=potong

0 komentar: